Monday, May 26, 2008

Perkembangan Kognitif Remaja

PERKEMBANGAN KOGNITIF REMAJA

oleh : Melly Latifah (Mei, 2008)


1. Tahap Perkembangan Kognitif Remaja

Perkembangan kognitif remaja membahas tentang perkembangan remaja dalam berfikir (proses kognisi/proses mengetahui ). Menurut J.J. Piaget, remaja berada pada tahap operasi formal, yaitu tahap berfikir yang dicirikan dengan kemampuan berfikir secara hipotetis, logis, abstrak, dan ilmiah. Pada usia remaja, operasi-operasi berpikir tidak lagi terbatas pada obyek-obyek konkrit seperti usia sebelumnya, tetapi dapat pula dilakukan pada proposisi verbal (yang bersifat abstrak) dan kondisi hipotetik (yang bersifat abstrak dan logis).

2. Kemampuan Kognitif Remaja

Berbagai penelitian selama dua puluh tahun terakhir dengan menggunakan berbagai pandangan teori juga menemukan gambaran yang konsisten dengan teori Piaget yang menyimpulkan bahwa remaja merupakan suatu periode dimana seseorang mulai berfikir secara abstrak dan logik (Carlson, Derry, Fouad, Jacobs, Krieg, & Peterson, 1999). Berbagai penelitian menunjukkan adanya perbedaan yang konsisten antara kemampuan kognitif anak-anak dan remaja. Dibandingkan anak-anak, remaja memiliki kemampuan lebih baik dalam berfikir hipotetis dan logis. Remaja juga lebih mampu memikirkan beberapa hal sekaligus - bukan hanya satu - dalam satu saat dan konsep-konsep abstrak (Keating, dalam Carlson, dkk., 1999). Menurut Nettle (2001), remaja juga dapat berfikir tentang proses berfikirnya sendiri, serta dapat memikirkan hal-hal yang tidak nyata - sebagaimana hal-hal yang nyata - untuk menyusun hipotesa atau dugaan.

3. Faktor Perkembangan Kognitif Remaja

Menurut pandangan teori pemrosesan informasi, kemampuan berfikir pada usia remaja disebabkan oleh meningkatnya ketersediaan sumberdaya kognitif (cognitive resource). Peningkatan ini disebabkan oleh automaticity atau kecepatan pemrosesan (Case; Keating & MacLean; dalam Carlson, dkk. 1999); pengetahuan lintas bidang yang makin luas (Case, dalam Carlson, dkk. 1999); meningkatnya kemampuan dalam menggabungkan informasi abstrak dan menggunakan argumen-argumen logis (Moshman & Frank, dalam Carlson, dkk., 1999); serta makin banyaknya strategi yang dimiliki dalam mendapatkan dan menggunakan informasi (Carlson, dkk., 1999).

Walaupun cara berfikir kelompok remaja (usia 11 tahun ke atas) berbeda dengan anak usia 7 – 11 tahun, akan tetapi bila ditelaah lebih jauh, di antara para remaja sendiri sering ditemukan perbedaan (Seifert dan Hoffnung, 1987). Perbedaan tersebut, menururt Torgesen (dalam Collins, dkk., 2001), terjadi antara lain karena faktor penggunaan strategi kognitif yang dimiliki oleh masing-masing individu.


Perkembangan Kognitif Remaja

PERKEMBANGAN KOGNITIF REMAJA

By: Melly Latifah

(Updated Maret 2010)
Department of Family & Consumer Sciences
Faculty of Human Ecology
Bogor Agriculture University

1. Tahap Perkembangan Kognitif Remaja

Perkembangan kognitif remaja membahas tentang perkembangan remaja dalam berfikir (proses kognisi/proses mengetahui ). Menurut J.J. Piaget, remaja berada pada tahap operasi formal, yaitu tahap berfikir yang dicirikan dengan kemampuan berfikir secara hipotetis, logis, abstrak, dan ilmiah. Pada usia remaja, operasi-operasi berpikir tidak lagi terbatas pada obyek-obyek konkrit seperti usia sebelumnya, tetapi dapat pula dilakukan pada proposisi verbal (yang bersifat abstrak) dan kondisi hipotetik (yang bersifat abstrak dan logis).

2. Kemampuan Kognitif Remaja

Berbagai penelitian selama dua puluh tahun terakhir dengan menggunakan berbagai pandangan teori juga menemukan gambaran yang konsisten dengan teori Piaget yang menyimpulkan bahwa remaja merupakan suatu periode dimana seseorang mulai berfikir secara abstrak dan logik (Carlson, Derry, Fouad, Jacobs, Krieg, & Peterson, 1999). Kemampuan ini berbeda dengan kemampuan berfikir usia sebelumnya (usia sekolah).

Berbagai penelitian menunjukkan adanya perbedaan yang konsisten antara kemampuan kognitif anak-anak dan remaja. Dibandingkan anak-anak, remaja memiliki kemampuan lebih baik dalam berfikir hipotetis dan logis. Remaja juga lebih mampu memikirkan beberapa hal sekaligus - bukan hanya satu - dalam satu saat dan konsep-konsep abstrak (Keating, dalam Carlson, dkk., 1999). Menurut Nettle (2001), remaja juga dapat berfikir tentang proses berfikirnya sendiri, serta dapat memikirkan hal-hal yang tidak nyata - sebagaimana hal-hal yang nyata - untuk menyusun hipotesa atau dugaan.

3. Faktor Perkembangan Kognitif Remaja

Menurut pandangan teori pemrosesan informasi, kemampuan berfikir pada usia remaja disebabkan oleh meningkatnya ketersediaan sumberdaya kognitif (cognitive resource). Peningkatan ini disebabkan oleh automaticity atau kecepatan pemrosesan (Case; Keating & MacLean; dalam Carlson, dkk. 1999); pengetahuan lintas bidang yang makin luas (Case, dalam Carlson, dkk. 1999); meningkatnya kemampuan dalam menggabungkan informasi abstrak dan menggunakan argumen-argumen logis (Moshman & Frank, dalam Carlson, dkk., 1999); serta makin banyaknya strategi yang dimiliki dalam mendapatkan dan menggunakan informasi (Carlson, dkk., 1999).

Walaupun cara berfikir kelompok remaja (usia 11 tahun ke atas) berbeda dengan anak usia 7 – 11 tahun, akan tetapi bila ditelaah lebih jauh, di antara para remaja sendiri sering ditemukan perbedaan (Seifert dan Hoffnung, 1987). Perbedaan tersebut, menururt Torgesen (dalam Collins, dkk., 2001), terjadi antara lain karena faktor penggunaan strategi kognitif yang dimiliki oleh masing-masing individu.


Pertumbuhan Fisik & Kesehatan Remaja

PERTUMBUHAN FISIK & KESEHATAN REMAJA

By: Melly Latifah
(Updated on March 2008)
Department of Family & Consumer Sciences
Faculty of Human Ecology
Bogor Agriculture University


1.Definisi Remaja

Remaja didefinisikan sebagai tahap perkembangan transisi yang membawa individu dari masa kanak-kanak ke masa dewasa, yang ditandai dengan perubahan fisik karena pubertas serta perubahan kognitif dan sosial. Menurut Seifert dan Hoffnung (1987), periode ini umumnya dimulai sekitar usia 12 tahun hingga akhir masa pertumbuhan fisik, yaitu sekitar usia 20 tahun.

2.Pandangan Teoritis tentang Remaja

Ada dua pandangan teoritis tentang remaja. Menurut pandangan teoritis pertama – yang dicetuskan oleh psikolog G. Stanley Hall – : adolescence is a time of “storm and stress “. Artinya, remaja adalah masa yang penuh dengan “badai dan tekanan jiwa”, yaitu masa di mana terjadi perubahan besar secara fisik, intelektual dan emosional pada seseorang yang menyebabkan kesedihan dan kebimbangan (konflik) pada yang bersangkutan, serta menimbulkan konflik dengan lingkungannya (Seifert & Hoffnung, 1987). Dalam hal ini, Sigmund Freud dan Erik Erikson meyakini bahwa perkembangan di masa remaja penuh dengan konflik. Keyakinan ini tercermin dari teori mereka tentang perkembangan manusia.

Menurut pandangan teoritis kedua, masa remaja bukanlah masa yang penuh dengan konflik seperti yang digambarkan oleh pandangan yang pertama. Banyak remaja yang mampu beradaptasi dengan baik terhadap perubahan yang terjadi pada dirinya, serta mampu beradaptasi dengan baik terhadap perubahan kebutuhan dan harapan dari orang tua dan masyarakatnya.

Bila dikaji, kedua pandangan tersebut ada benarnya, namun sangat sedikit remaja yang mengalami kondisi yang benar-benar ekstrim seperti kedua pandangan tersebut (selalu penuh konflik atau selalu dapat beradaptasi dengan baik). Kebanyakan remaja mengalami kedua situasi tersebut (penuh konflik atau dapat beradaptasi dengan mulus) secara bergantian (fluktuatif).

3.Pertumbuhan Fisik Remaja

Seseorang akan mengalami pertumbuhan fisik (tinggi dan berat badan) yang sangat pesat pada usia remaja yang dikenal dengan istilah growth spurt. Growth spurt merupakan tahap pertama dari serangkaian perubahan yang membawa seseorang kepada kematangan fisik dan seksual.

Pada usia 12 tahun, tinggi badan rata-rata remaja putra USA sekitar 150, sementara remaja putri sekitar 154 cm. Pada usia 18 tahun, tinggi rata-rata remaja putra USA sekitar 177 cm, sedangkan remaja putri hanya 163 cm. Kekepatan pertumbuhan tertinggi pada remaja putri terjadi sekitar usia 11 – 12 tahun, sementara pada remaja putra, dua tahun lebih lambat. Pada masa pertumbuhan maksimum ini, remaja putri bertambah tinggi badannya sekitar 3 inci, sementara remaja putra bertambah lebih dari 4 inci per tahunnya (Marshall, dalam Seifert & Hoffnung, 1987).

Seperti halnya tinggi badan, pertumbuhan berat badan juga meningkat pada usia remaja. Pertumbuhan berat badan ini lebih sulit diprediksi daripada tinggi badan, dan lebih mudah dipengaruhi oleh diet, latihan fisik, dan pola hidup.
Pada usia remaja, tubuh remaja putri lebih berlemak daripada remaja putra. Selama masa pubertas, lemak tubuh remaja putra menurun dari sekitar 18 – 19 % menjadi 11 % dari bobot tubuh. Sementara pada remaja putri, justru meningkat dari sekitar 21 % menjadi sekitar 26 – 27 % (Sinclair, dalam Seifert & Hoffnung, 1987).

Saat ini, remaja mengalami perubahan fisik (dalam tinggi dan berat badan) lebih awal dan cepat berakhir daripada orang tuanya. Kecenderungan ini disebut trend secular. Sebagai contoh, seratus tahun yang lalu, remaja USA dan Eropa Barat mulai menstruasi sekitar usia 15 – 17 tahun, sekarang sekitar 12 – 14 tahun. Di tahun 1880, laki-laki mencapai tinggi badan sepenuhnya pada usia 23 – 24 tahun dan perempuan pada usia 19 – 20 tahun, sekarang laki-laki mencapai tinggi maksimum pada usia 18 – 20 dan perempuan pada usia 13 – 14 tahun.

Trend secular terjadi sebagai akibat dari meningkatnya faktor kesehatan dan gizi, serta kondisi hidup yang lebih baik. Sebagai contoh, meningkatnya tingkat kecukupan gizi dan perawatan kesehatan, serta menurunnya angka kesakitan (morbiditas) di usia bayi dan kanak-kanak.

4.Pubertas

Pubertas adalah periode pada masa remaja awal yang dicirikan dengan perkembangan kematangan fisik dan seksual sepenuhnya (Seifert & Hoffnung, 1987). Pubertas ditandai dengan terjadinya perubahan pada ciri-ciri seks primer dan sekunder.

Ciri-ciri seks primer memungkinkan terjadinyanya reproduksi. Pada wanita, ciri-ciri ini meliputi perubahan pada vagina, uterus, tube fallopi, dan ovari. Perubahan ini ditandai dengan munculnya menstruasi pertama. Pada pria, ciri-ciri ini meliputi perubahan pada penis, scrotum, testes, prostate gland, dan seminal vesicles. Perubahan ini menyebabkan produksi sperma yang cukup sehingga mampu untuk bereproduksi, dan perubahan ini ditandai dengan keluarnya sperma untuk pertama kali (biasanya melalui wet dream).

Ciri-ciri seks sekunder meliputi perubahan pada buah dada, pertumbuhan bulu-bulu pada bagian tertentu tubuh, serta makin dalamnya suara. Perubahan ini erat kaitannya dengan perubahan hormonal. Hormon adalah zat kimia yang diproduksi oleh kelenjar endokrin, kemudian dilepaskan melalui aliran darah menuju berbagai organ tubuh.

Kelenjar seks wanita (ovaries) dan pria (testes) mengandung sedikit hormon. Hormon ini berperan penting dalam pematangan seksual. Kelenjar pituitary (yang berada di dalam otak) merangsang testes dan ovaries untuk memproduksi hormon yang dibutuhkan. Proses ini diatur oleh hypothalamus yang berada di atas batang otak.

5.Dampak Pertumbuhan Fisik terhadap Kondisi Psikologis Remaja

Pertumbuhan fisik yang sangat pesat pada masa remaja awal ternyata berdampak pada kondisi psikologis remaja, baik putri maupun putra. Canggung, malu, kecewa, dll. adalah perasaan yang umumnya muncul pada saat itu.

Hampir semua remaja memperhatikan perubahan pada tubuh serta penampilannya. Perubahan fisik dan perhatian remaja berpengaruh pada citra jasmani (body image) dan kepercayaan dirinya (self-esteem).

Ada tiga jenis bangun tubuh yang menggambarkan tentang citra jasmani, yaitu endomorfik, mesomorfik dan ektomorfik. Endomorfik banyak lemak sedikit otot (padded). Ektomorfik sedikit lemak sedikit otot (slender). Mesomorfik sedikit lemak banyak otot (muscular).

6.Masalah Kesehatan pada Remaja

Remaja merupakan usia paling sehat dibanding kanak-kanak dan dewasa karena sedikitnya penyakit yang dialami kelompok usia ini. Akan tetapi, remaja memiliki resiko kesehatan paling tinggi karena faktor kecelakaan, alkohol, narkoba, hamil diluar nikah, kebiasaan makan (diet) dan perilaku hidup sehat yang buruk

Referensi :
Seifert, K.L. & Hoffnung, R.J. (1987). Child and Adolescent Development. Boston : Houghton Mifflin Co.




Karakteristik Remaja

KARAKTERISTIK REMAJA

By: Melly Latifah
(Updated on March 2010)

Department of Family & Consumer Sciences
Faculty of Human Ecology

Bogor Agriculture University

Periode remaja adalah masa transisi dari periode anak-anak ke periode dewasa. Periode ini dianggap sebagai masa-masa yang amat penting dalam kehidupan seseorang khususnya dalam pembentukan kepribadian individu.

Kebanyakan ahli memandang masa remaja harus dibagi dalam dua periode karena terdapat ciri-ciri perilaku yang cukup banyak berbeda dalam kedua (sub) periode tersebut. Pembagian ini biasanya menjadi: periode remaja awal (early adolescence), yaitu berkisar antara umur 13 sampai 17 tahun; dan periode remaja akhir, yaitu 17 sampai 18tahun (atau umur dewasa menurut hukum yang berlaku di suatu negara).

Secara umum, periode remaja merupakan klimaks dari periode-periode perkembangan sebelumnya. Dalam periode ini apa yang diperoleh dalam masa-masa sebelumnya diuji dan dibuktikan sehingga dalam periode selanjutnya individu telah mempunyai suatu pola pribadi yang lebih mantap.

Pertumbuhan fisik dalam periode pubertas terus berlanjut sehingga mencapai kematangan pada akhir periode remaja. Masalah-masalah sehubungan dengan perkembangan fisik pada periode pubertas (malu, atau rendah diri, takut gemuk, pingin punya kumis dan lain-lain) masih berlanjut, tetapi akhirnya mereda (Irwanto, dkk., 1989).

Ciri-ciri perilaku yang menonjol pada usia-usia ini terutama terlihat pada perilaku sosial. Dalam masa-masa ini teman sebaya mempunyai arti yang amat penting. Mereka ikut dalam klub-klub, klik-klik atau geng-geng sebaya yang perilaku dan nilai-nilai kolektifnya sangat mempengaruhi perilaku serta nilai-nilai individu-individu yang menjadi anggotanya.

Inilah proses dimana individu membentuk pola perilaku dan nilai-nilai baru yang pada gilirannya bisa menggantikan nilai-nilai serta pola perilaku yang dipelajarinya di rumah.

Remaja adalah seorang idealis, ia memandang dunianya seperti apa yang ia inginkan, bukan sebagaimana adanya. Ia suka mimpi-mimpi yang sering membuatnya marah, cepat tersinggung atau frustasi. Selain itu, oleh keluarga dan masyarakat ia dianggap sudah menginjak dewasa, sehingga diberi tanggung jawab layaknya seorang yang sudah dewasa. Ia mulai memperhatikan prestasi dalam segala hal, karena ini memberinya nilai tambah untuk kedudukan sosialnya di antara teman sebaya maupun orang-orang dewasa.

Periode remaja adalah periode pemantapan identitas diri. Pengertiannya akan “siapa aku” yang dipengaruhi oleh pandangan orang-orang sekitarnya serta pengalaman-pengalaman pribadinya akan menentukan pola perilakunya sebagai orang dewasa.
Pemantapan identitas diri ini tidak selalu mulus, tetapi sering melalui proses yang panjang dan bergejolak. Oleh karena itu, banyak ahli menamakan periode ini sebagai masa-masa storm and stress.

Referensi :
Seifert, K.L. & Hoffnung, R.J. (1987). Child and Adolescent Development. Boston : Houghton Mifflin Co.




Thursday, April 3, 2008

PERKEMBANGAN KOGNITIF (COGNITIVE DEVELOPMENT)

 

By: Melly Latifah
(Updated on March, 2010)

 

Department of Family & Consumer Sciences
Faculty of Human Ecology

Bogor Agriculture University

 
 
Membahas tentang perkembangan kognitif berarti membahas tentang perkembangan individu dalam berfikir atau proses kognisi atau proses mengetahui. Dalam psikologi, proses mengetahui dipelajari dalam bidang psikologi kognitif. Bidang ini dipelopori oleh J.J. Piaget, yang terkenal dengan teori pentahapan kognitifnyanya yang disebut perkembangan kognitif.

Menurut Monks, Knoers & Haditono (1992), teori Piaget tentang perkembangan kognitif banyak dipengaruhi oleh bidang ilmu biologi dan epistemologi (ilmu mengenai pengenalan, asal-muasal). Sementara itu, Miller (1993) berpendapat bahwa teori Piaget merupakan teori pentahapan yang paling berpengaruh dalam psikologi perkembangan, di mana dalam setiap tahapannya Piaget menggambarkan bagaimana manusia mendapatkan pengetahuan tentang dunianya (genetic epistemology).

1. Definisi Kognisi

Berdasarkan akar teoritis yang dibangun oleh Piaget, beberapa penulis mendefinisikan kognisi dengan redaksi yang berbeda-beda, namun pada dasarnya sama, yaitu aktivitas mental dalam mengenal dan mengetahui tentang dunia. Neisser (1967) dalam Morgan, et al. (1986), mendefinisikan kognisi sebagai proses berpikir dimana informasi dari pancaindera ditransformasi, direduksi, dielaborasi, diperbaiki, dan digunakan.

Secara ringkas, Morgan, dkk.. (1986) menyatakan bahwa kognisi sebagai pemrosesan informasi tentang lingkungan yang dipersepsikan melalui pancaindera. Menurut Santrock (1986), kognisi mengacu kepada aktivitas mental tentang bagaimana informasi masuk ke dalam pikiran, disimpan dan ditransformasi, serta dipanggil kembali dan digunakan dalam aktivitas kompleks seperti berpikir.

2. Perkembangan Kognitif dan Faktor-faktor yang Mempengaruhinya

Secara ringkas, Piaget berteori bahwa selama perkembangannya, manusia mengalami perubahan-perubahan dalam struktur berfikir, yaitu semakin terorganisasi, dan suatu struktur berpikir yang dicapai selalu dibangun pada struktur dari tahap sebelumnya. Perkembangan yang terjadi melalui tahap-tahap tersebut disebabkan oleh empat faktor: kematangan fisik, pengalaman dengan objek-objek fisik, pengalaman sosial, dan ekuilibrasi.

Pengalaman membawa kemajuan kognitif melalui proses asimilasi dan akomodasi. Proses asimilasi dan amomodasi membantu anak-anak beradaptasi terhadap lingkungannya karena melalui proses-proses tersebut pemahaman mereka mengenai dunia semakin dalam dan luas. Dengan demikian, jelas bahwa Piaget memandang anak-anak sebagai organisme aktif dan self-regulating yang berubah melalui interaksi antara pembawaan lahir (innate) dengan faktor-faktor lingkungan (Hetherington; Parke, 1986;Seifert; Hoffnung, 1987; Papalia; Olds, 1988;Miller, 1993).

3. Tahapan Perkembangan Kognitif

Menurut Piaget, perkembangan kognitif terjadi melalui empat tahap, yaitu sensorimotor, praoperasional, operasi konkrit, dan operasi formal (Hasselt; Hersen, 1987). Berikut ini adalah penjelasan untuk masing-masing tahap.

Pada tahap sensorimotor (0 – 2 tahun), manusia mengetahui dunia melalui aksi-aksinya terhadap lingkungannya, seperti mengenyot, meraih, mengikuti arah benda, dll. Pada proses ini, manusia mengkonstruksi skema-skema sensori-motor yang semakin lama semakin terarah dan semakin terinterkoordinasi.

Pada tahap praoperasional (2 - 7 tahun), anak-anak mengeksploitasi kemampuan yang baru dicapainya dan mengembangkan proses-proses simbolik. Menurut Miller (1993), meskipun dibatasi oleh sifat egosentrisme, pemikiran yang kaku, serta keterbatasan dalam kemampuan ambil-peran (role-taking) dan komunikasi, pada tahap ini, anak mampu menggabungkan simbol-simbol dalam berfikir semilogikal (semilogical reasoning).

Pada tahap operasi konkrit (7 - 11 tahun), anak mulai mampu menggunakan operasi-operasi berpikir karena anak telah mencapai struktus-struktur logik-matematik (logicomathematical).

Pada tahap operasi formal (11 tahun ke atas atau awal remaja hingga dewasa), operasi-operasi berpikir tidak lagi terbatas pada obyek-obyek konkrit, tetapi dapat pula dilakukan pada proposisi verbal dan kondisi hipotetik.

DAFTAR PUSTAKA :

1. Hetherington, E. Mavis & Parke, Ross D. 1986. Child Psychology : A Contemporary Viewpoint. McGraw-Hill, Inc, Singapore.

2. Miller, P.H. 1993. Theories of Developmental Psychology (3rd Ed.).W.H. Freeman & Co., New York.

3. Knoers, A.M.P. Haditono, S.R. 1992. Psikologi Per-kembangan. Yogyakarta : Gadjah Mada University Press.

4. Morgan, C.T.;King, R.A.; Weisz, J.R. & Schopler, J. Intoduction to psychology.(7th Ed).McGraw-Hill Book Company.Singapore.

5. Papalia, D.E. & S.W. Olds.1989. Human Development. 4 th ed. McGraw-Hill, Inc. New York.

6.Santrock, J.W.1986.Psychology: The Science of Mind and Behaviour.WM.C. Brown Publishers. Dubuque, Iowa.

7.Seifert, K.L. & Hoffnung, R.J. 1987. Child and Adolescent Development. Houghton Mifflin Co. Boston.

Wednesday, April 2, 2008

Proses Mengetahui pada Anak

PROSES MENGETAHUI PADA ANAK (Tinjauan Pendekatan Pemrosesan Informasi)

By: Melly Latifah
(March, 2008)

Department of Family & Consumer Sciences
Faculty of Human Ecology
Bogor Agriculture University




Teori kognisi menjelaskan tentang bagaimana proses mengetahui terjadi pada manusia. Ada beberapa model yang digunakan untuk menjelaskan proses mengetahui pada manusia. Akan tetapi, dalam dua dekade terakhir, pemrosesan informasi merupakan model yang paling banyak digunakan dalam penelitian-penelitian tentang human cognition (Miller, dalam Vasta, Haith & Miller, 1992).

Model pemrosesan informasi membahas tentang peran operasi-operasi kognitif dalam pengolahan informasi (Hetherington & Parke, 1986). Dalam model ini manusia dipandang sebagai sistem yang memodifikasi informasi sendiri secara aktif dan terorganisir. Perkembangan seseorang dalam pemrosesan informasi berkaitan dengan perubahan-perubahan kuantitatif dan kualitatif dalam aspek ini serta pengaruh-pengaruh genetis dan lingkungan. Inti dari perkembangan dalam pemrosesan informasi adalah terbentuknya sistem pada diri seseorang yang semakin efisien untuk mengontrol aliran informasi (Miller, 1993).

Saat ini ada dua model yang dapat digunakan untuk menjelaskan teori pemrosesan informasi, yaitu model penyimpanan (store/structure model) dan model tingkat pemrosesan (level of processing). Model penyimpanan dikembangkan oleh Atkinson & Shiffrin (dalam Miller, 1993), sedangkan model tingkat pemrosesan dikembangkan oleh Craik dan Lockhart (dalam Miller, 1993).

Dalam model pemrosesan informasi yang dikembangkan oleh Atkinson & Shiffrin, kognisi manusia dikonsepkan sebagai suatu sistem yang terdiri dari tiga bagian, yaitu masukan (input), proses dan keluaran (output). Informasi dari dunia sekitar merupakan masukan bagi sistem. Stimulasi dari dunia sekitar ini memasuki reseptor memori dalam bentuk penglihatan, suara, rasa, dan sebagainya. Selanjutnya, input diproses dalam otak. Otak mengolah dan mentransformasikan informasi dalam berbagai cara. Proses ini meliputi pengkodean kedalam bentuk-bentuk simbolis, membandingkan dengan informasi yang telah diketahui sebelumnya, menyimpan dalam memori, dan mengambilnya bila diperlukan. Akhir dari proses ini adalah keluaran, yaitu perilaku manusia, seperti berbicara, menulis, interaksi sosial, dan sebagainya (Vasta, dkk., 1992).

Secara rinci, Pressley, (1990) memaparkan pemrosesan informasi sebagai berikut : Pertama-tama, manusia menangkap informasi dari lingkungan melalui organ-organ sensorisnya (yaitu mata, telinga, hidung, dan sebagainya). Beberapa informasi disaring (diabaikan) pada tingkat sensoris, kemudian sisanya dimasukkan ke dalam ingatan jangka pendek (kesadaran). Ingatan jangka pendek mempunyai kapasitas pemeliharaan informasi yang terbatas sehingga kandungannya harus diproses sedemikian rupa (misalnya dengan pengulangan atau pelatihan), jika tidak akan lenyap dengan cepat. Bila diproses, informasi dari ingatan jangka pendek (short-term memory) dapat ditransfer ke dalam ingatan jangka panjang (long-term memory).

Ingatan jangka panjang (Long-Term Memory) merupakan hal penting dalam proses belajar. Menurut Anderson (dalam Pressley, 1990), tempat penyimpanan jangka panjang mengandung informasi faktual (disebut pengetahuan deklaratif) dan informasi mengenai bagaimana cara mengerjakan sesuatu (disebut pengetahuan prosedural).

Menurut pandangan model pemrosesan informasi yang dikembangkan oleh Atkinson & Shiffrin, sejak kecil seorang anak mengembangkan fungsi kontrol eksekutifnya dalam mengolah informasi dari lingkungannya. Menurut Hetherington & Parke (1986), pada usia antara 3 hingga 12 tahun, fungsi kontrol eksekutif seseorang menunjukkan perkembangan yang pesat. Fungsi tersebut mencakup pengaturan informasi yang diperlukan, termasuk memilih strategi yang digunakan dan memonitor keberhasilan penggunaan strategi tersebut. Dalam pandangan model ini, anak merupakan pengatur yang aktif dari fungsi-fungsi kognitifnya sendiri. Oleh karena itu, dalam menghadapi suatu masalah, anak memilih masalah yang akan diselesaikannya, memutuskan besar usaha yang akan dilakukannya, memilih strategi yang akan digunakannya, menghindari hal-hal yang mengganggu usahanya, serta mengevaluasi kualitas hasil usahanya.

Model pemrosesan informasi berasumsi bahwa anak-anak mempunyai kemampuan yang lebih terbatas dan berbeda dibanding orang dewasa. Anak-anak tidak dapat menyerap banyak informasi, kurang sistematis dalam hal informasi apa yang diserap, tidak mempunyai banyak strategi untuk mengatasi masalah, tidak mempunyai banyak pengetahuan mengenai dunia yang diperlukan untuk memahami masalah, dan kurang mampu memonitor kerja proses kognitifnya (Hetherington & Parke, 1986). Mengingat perkembangan anak yang optimal adalah tujuan para psikolog perkembangan, maka sangat relevan jika individu-individu yang berkecimpung di bidang ini melakukan penelitian yang tujuannya bermuara pada meningkatkan kemampuan pemrosesan informasi.

Model kedua yang dapat digunakan untuk menjelaskan teori pemrosesan informasi adalah model tingkat pemrosesan (level of process-ing). Model tingkat pemrosesan yang dikembangkan oleh Craik dan Lockhart ini memiliki prinsip dasar bahwa informasi yang diterima diolah dengan tingkatan yang berbeda. Semakin dalam pengolahan yang dilakukan, semakin baik informasi tersebut diingat. Pada tingkat pengolahan pertama akan diperoleh persepsi, yang merupakan kesadaran seketika akan lingkungan. Pada tingkat pengolahan berikutnya akan diperoleh gambaran struktural dari informasi. Pada tingkat pengolahan terdalam akan diperoleh makna (meaning) dari informasi yang diterima (Craik dan Lockhart, dalam Morgan et al., 1986).

Menurut model tingkat pemrosesan, berbagai stimulus informasi diproses dalam berbagai tingkat kedalaman secara bersamaan bergantung kepada karakternya. Semakin dalam suatu informasi diolah, maka informasi tersebut akan semakin lama diingat. Sebagai contoh, informasi yang mempunyai imaji visual yang kuat atau banyak berasosiasi dengan pengetahuan yang telah ada akan diproses secara lebih dalam. Demikian juga informasi yang sedang diamati akan lebih dalam diproses daripada stimuli atau kejadian lain di luar pengamatan. Dengan kata lain, manusia akan lebih mengingat hal-hal yang mempunyai arti bagi dirinya atau hal-hal yang menjadi perhatiannya karena hal-hal tersebut diproses secara lebih mendalam daripada stimuli yang tidak mempunyai arti atau tidak menjadi perhatiannya (Craik & Lockhart, 2002).

Pengulangan (rehearsal) - yang memegang peranan penting dalam pendekatan model penyimpanan - juga dianggap penting dalam pendekatan model tingkat pemrosesan. Namun, menurut pandangan model tingkat pemrosesan, hanya mengulang-ngulang saja tidak cukup untuk mengingat. Untuk memperoleh tingkatan yang lebih dalam, aktivitas pengulangan haruslah bersifat elaboratif. Dalam hal ini, pengulangan harus merupakan sebuah proses pemberian makna (meaning) dari informasi yang masuk. Istilah elaborasi sendiri mengacu kepada sejauh mana informasi yang masuk diolah sehingga dapat diikat atau diintegrasikan dengan informasi yang telah ada dalam ingatan (Craik dan Lockhart, dalam Morgan et al., 1986).

Telah disebutkan bahwa prinsip dasar model tingkat pemrosesan informasi adalah semakin besar upaya pemrosesan informasi selama belajar, semakin dalam informasi tersebut akan disimpan dan diingat. Prinsip ini telah banyak diaplikasikan dalam penyusunan setting pengajaran verbal, seperti mengingat daftar kata, juga pengajaran membaca dan bahasa (Cermak & Craik, dalam Craik & Lockhart, 2002).



DAFTAR PUSTAKA :
  1. Hetherington, E. Mavis & Parke, Ross D. 1986. Child Psychology : A Contemporary Viewpoint. McGraw-Hill, Inc, Singapore.
  2. Miller, P.H. 1993. Theories of Developmental Psychology (3rd Ed.). W.H. Freeman & Co., New York. 
  3. Morgan, C.T.; King, R.A.; Weisz, J.R. & Schopler, J. 1986. Intoduction to psychology. (7th Ed). McGraw-Hill Book Company. Singapore. 
  4. Pressley, M. 1990. Cognitive Strategy Instruction that Really Improves Children’s Academic Performance. Cambridge, MA: Bookline Books. 
  5. Vasta, R., Haith, M M., & Miller, SA. 1992. Child Psychologi : The Modern Science. John Wiley & Sons. Inc. New York.

Sunday, March 2, 2008

Metode Pembelajaran yang Baik

METODE PEMBELAJARAN YANG BAIK
By: Melly Latifah
(March, 2008)

Department of Family & Consumer Sciences
Faculty of Human Ecology
Bogor Agriculture University



Dewasa ini, banyak orang tua yang bingung dengan cara guru melaksanakan pembelajaran di sekolah anak-anaknya karena caranya yang berbeda dengan cara yang diterapkan guru jaman dulu ketika orang tua sekolah. Ada yang tidak setuju ketika anak-anaknya diajak guru keluar kelas untuk memetik berbagai jenis daun, atau bercerita di bawah pohon rindang, atau memanen ikan sambil menghitung dan kemudian mengolah hasil tangkapannya. “Kok anak-anak hanya bermain saja, tidak belajar?” Begitu biasanya pertanyaan beberapa orang tua.

Banyak orang tua yang masih beranggapan bahwa belajar itu seharusnya hanya di ruang kelas, di mana anak-anak duduk tekun mendengarkan gurunya menjelaskan setiap mata pelajaran. Bahkan untuk pendalamannya, anak seharusnya diberi pekerjaan rumah (PR). Ternyata, banyak juga guru yang berpendapat demikian. Apakah benar bahwa seperti itulah metode pembelajaran yang baik? Bagaimanakah metode pembelajaran yang baik itu?

Metode pembelajaran yang baik seharusnya selaras dan mendukung pencapaian tujuan kurikulum yang baik. Di Indonesia, kurikulum sekolah harus selaras dengan Undang-Undang Sisdiknas pasal 3 nomor 20 tahun 2003, yang pada intinya adalah mengamanat kepada setiap sekolah untuk melaksanakan pendidikan secara holistik dengan cara mengembangkan seluruh potensi peserta didik. Dengan kata lain, metode pembelajaran yang baik bukan hanya mengembangkan aspek kognitif atau akademik saja, tetapi juga harus mampu membentuk manusia utuh (whole person) yang cakap dalam menghadapi dunia yang penuh tantangan dan cepat berubah, serta mempunyai kesadaran spiritual bahwa dirinya adalah bagian dari keseluruhan (the person within a whole) (Megawangi, Latifah, Dina, 2004).


Dengan demikian, orang tua dan guru harus menyadari bahwa metode pembelajaran yang baik harus mampu mengembangkan seluruh potensi anak secara holistik. Artinya, seluruh dimensi perkembangan anak dikembangkan. Perlu diketahui pula bahwa hasil studi mutakhir (Megawangi, dkk., 2004) menunjukkan bahwa seluruh dimensi perkembangan anak tersebut (fisik, sosial, emosi, dan kognitif/akademik) terjadi secara simultan dan terintegrasi; tidak masing-masing berdiri sendiri. Dengan kata lain, perkembangan salah satu aspek dipengaruhi oleh aspek yang lainnya. Sebagai contoh, anak yang perkembangan sosialnya kurang baik, cenderung tidak disukai oleh teman-temannya. Kondisi ini akan mempengaruhi kemampuannya dalam bekerja dan belajar kelompok dan membuat anak merasa tidak nyaman berada di lingkungannya. Akhirnya, proses belajarnya terganggu dan prestasi pun tidak baik.

Berdasarkan paparan di atas, maka sangat penting bagi para pendidik untuk menyadari pentingnya konsep pendidikan anak secara holistik, yaitu konsep pendidikan yang mengembangkan seluruh potensi anak dan metode pembelajarannya disajikan secara terintegrasi dan menyenangkan bagi anak sehingga anak dapat terkembangkan berbagai potensinya secara simultan. Hal ini sesuai dengan pemikiran para pakar dan pendidik yang bergabung dalam NAEYC (National Association for the Education of Young Children) di AS (yang beranggotakan lebih dari 100.000 orang dari berbagai negara) yang menekannkan bahwa pendidikan harus sesuai dengan konsep Developmentally Appropriate Practices (DAP) (Megawangi, dkk., 2004).

Metode pembelajaran yang sejalan dengan konsep DAP adalah metode pembelajaran yang menyenangkan bagi anak. Metode ini, selain sesuai dengan tahapan perkembangan anak, juga memperhatikan keunikan setiap anak. Metode pembelajaran dengan konsep DAP dianggap dapat mempertahankan, bahkan meningkatkan gairah belajar anak-anak. Konsep DAP memperlakukan anak sebagai individu yang utuh (the whole child) yang melibatkan empat komponen, yaitu pengetahuan (knowledge), keterampilan (skills), sifat alamiah (dispositions), dan perasaan (feelings); karena pikiran, emosi, imajinasi, dan sifat alamiah anak bekerja secara bersamaan dan saling berhubungan. Dengan kata lain, metode pembelajaran yang baik adalah metode pembelajaran yang dapat melibatkan semua aspek ini secara bersamaan, sehingga perkembangan intelektual, sosial, dan karakter anak dapat terbentuk secara simultan (Megawangi, dkk., 2004).

Telah disebutkan bahwa pendidikan di sekolah seharusnya bertujuan untuk membangun manusia holistik. Agar tujuan itu tercapai, maka prinsip pendidikan harus mengacu kepada prinsip-prinsip pembelajaran yang dapat mengarahkan proses pembelajaran secara efektif. Berdasarkan hasil studi pustaka dari berbagai sumber, maka dapat disimpulkan bahwa ada tiga prinsip pembelajaran efektif bagi pendidikan terutama di tingkat dasar (Megawangi, dkk., 2004) :
  1. Pembelajaran memerlukan pastisipasi aktif para siswa (belajar aktif). Motivasi belajar akan meningkat kalau siswa terlibat aktif (mempraktekan) dalam mempelajari hal-hal yang konkrit, bermakna, dan relevan dalam konteks kehidupannya.
  2. Setiap anak belajar dengan cara dan kecepatan yang berbeda
  3. Anak-anak dapat belajar dengan efektif ketika mereka dalam suasana kelas yang kondusif (conducive learning community), yaitu suasana yang memberikan rasa aman dan penghargaan, tanpa ancaman, dan memberikan semangat.

Ketiga prinsip pembelajaran tersebut didukung oleh beberapa hasil riset otak yang mempunyai implikasi terhadap pendidikan. National Research Council (1999) dalam Megawangi, dkk. (2004) mengumpulkan dan mengkompilasikan berbagai hasil riset otak yang harus menjadi acuan bagi para pendidik agar proses pendidikan dapat berjalan dengan efektif. Beberapa hasil riset tersebut adalah :

  1. Proses belajar melibatkan seluruh dimensi manusia (tubuh, pikiran, dan emosi)
  2. Faktor emosi sangat berperan dalam mempengaruhi sistem limbik otak yang dikenal sebagai otak emosi. Sistem limbik ini berperan dalam memfilter segala macam persepsi yang masuk. Apabila persepsi yang masuk berupa ancaman, ketakutan, kesedihan, maka bagian batang otak yang merupakan otak reptil (binatang) akan lebih berperan sehingga seseorang akan berada dalam modus bertahan atau menyelamatkan diri. Suasana di kelas tradisional yang kaku akan menurunkan fungsi otak menuju batang otak, sehingga anak tidak bisa berpikir efektif. Sedangkan dalam kondisi yang menyenangkan, aman, dan nyaman akan mengaktifkan bagian neo-cortex (otak berpikir), sehingga dapat mengoptimalkan proses belajar dan meningkatkan kepercayaan diri anak.
  3. Informasi yang menarik dan bermakna akan disimpan lebih lama dalam memori, sedangkan informasi yang membosankan dan tidak relevan, akan mudah dilupakan.
  4. Kaitan erat antara aspek fisiologi, emosi dan daya ingat mempunyai implikasi penting bagi proses belajar, yaitu : suasana belajar yang menyenangkan, melibatkan seluruh aspek sensori manusia (panca-indera), relevan atau kontekstual, dan yang terpenting, proses belajar harus memberikan rasa kebahagiaan.
  5. Manusia akan lebih mudah mengerti kalau terlibat secara langsung dalam mengerjakannya, atau dengan ingatan spatial (bentuk atau gambar).

Hasil studi Lewis dan Schaos (1996) dalam Megawangi, dkk. (2004) menunjukkan bahwa suasana kelas yang kondusif akan mempunyai dampak yang positif motivasi dan kemampuan anak. Adapun ciri-ciri kelas yang kondusif sehingga membuat para siswa memiliki motivasi belajar yang tinggi, berani mencoba (risk-taker), dan menjadi pembelajar sejati adalah sebagai berikut :

  • Adanya pendidikan karakter secara eksplisit, sehingga akan terbentuk sikap anak yang saling menghormati, saling menghargai, bertanggung jawab, dan sebagainya.
  • Adanya peraturan dan kode etik yang dibuat dengan kesepakatan seluruh kelas dan dipatuhi dengan baik.
  • Hubungan antar siswa saling mendukung, tidak terlihat adanya persaingan antar siswa yang tidak sehat.
  • Adanya rasa saling percaya dan saling menghormati antar siswa dan guru. Guru menghormati dan memperlakukan siswa dengan baik.
  • Guru berusaha mengenal siswa secara pribadi dan mengetahui keunikan masing-masing siswa.
  • Guru bertindak sebagai fasilitator yang memberikan peluang berinisiatif bagi siswa dan memotivasi siswa untuk tertarik pada materi pelajaran.
  • Guru selalu siap untuk merencanakan kegiatan harian yang dapat menstimulasi seluruh dimensi perkembangan siswa.
  • Setiap siswa merasa bahwa keberadaannya sebagai anggota kelas diterima dan dihargai.
  • Setiap siswa merasa terlibat dalam pengambilan keputusan, dan para siswa berpartisipasi aktif dalam proses belajar.
  • Adanya kesempatan bagi para siswa untuk belajar dalam kelompok sehingga siswa dapat belajar bagaimana berinteraksi secara positif.
  • Iklim belajar yang menyenangkan; tidak ada tekanan dan beban yang berlebihan, tetapi siswa-siswa tercelup dalam kegiatan belajar secara intensif.
  • Iklim belajar yang memberikan peluang bagi siswa untuk membuat kesalahan sebagai bagian alami dalam proses belajar (tidak memvonis siswa yang belum menguasai pelajaran), sehingga para siswa bisa menjadi risk-taker, dan mempunyai motivasi untuk mempelajari hal-hal yang baru dan sulit.

  • Dari paparan tersebut di atas, maka kita sebagai orang tua dapat menilai apakah metode pembelajaran di sekolah anak-anak kita sesuai atau tidak dengan ketiga prinsip pembelajaran efektif ? Apakah proses pembelajarannya mempertimbangkan berbagai hal sesuai dengan hasil riset otak ? Apakah suasana kelasnya cukup kondusif bagi proses pembelajaran yang efektif ? Mengacu kepada indikator-indikator di atas, maka kita dapat menilai bagaimana praktek pendidikan di sekolah-sekolah di Indonesia. Sekarang kita dapat menilai apakah tindakan benar jika guru mempermalukan anak di depan kelas, memarahi atau bahkan menghukumnya? Hal ini dapat menyebabkan anak malu untuk mengungkapkan pikirannya di muka umum, dan menjadi tidak percaya diri. Selain suasana kelas yang tidak kondusif, sejak kecil anak-anak kita juga di “vonis” dengan adanya sistem ranking di kelas, sehingga ada istilah “mendapatkan ranking” (sepuluh besar) atau “tidak masuk ranking”. Sebagian besar anak kita sudah divonis bodoh sejak kecil karena hanya sedikit saja yang mendapat ranking. Terlebih jika anak sering dihukum dan dikritik oleh gurunya. Kondisi seperti ini akan membuat anak-anak kita menjadi individu-individu yang tidak memiliki rasa percaya diri atau malas untuk terus belajar dan memperbaiki diri. Mungkin hal ini menjadi salah satu penyebab mengapa kualitas SDM Indonesia berdasarkan Human Development Index (HDI) cukup memprihatinkan?

    Jika banyak guru yang mengajar di kelas dengan suasana yang tidak kondusif, maka hal itu bukan semata kesalahan guru, tetapi merupakan kesalahan sebuah sistem pendidikan yang orientasinya kepada mengejar keberhasilan akademik, yaitu sistem yang mengejar target kurikulum sekolah dengan segenap jadwal tes harian, ulangan umum, dan ujian akhir. Padahal menurut Megawangi, dkk. (2004), untuk anak-anak usia dini, yang terpenting adalah ditanamkan sikap agar anak selalu cinta belajar, bukan semata-mata harus bisa. Jika harus bisa (dengan mengadakan ulangan atau tes), suasana belajar menjadi penuh beban, sehingga otak limbik anak tertutup, yang akhirnya membuat anak tidak dapat mencapai potensi optimalnya.

    Nah, bagaimana pendapat Anda sekarang tentang metode pembelajaran anak Anda di sekolah? Apakah belajar itu harus selalu di ruang kelas dengan suasana yang membosankan? Apakah sekolah anak Anda sudah menerapkan metode pembelajaran yang baik? Silakan Anda menilainya.

    Referensi :
Megawangi, R; M. Latifah; W.F. Dina. 2004. Pendidikan Holistik : Aplikasi KBK untuk Menciptakan Lifelong Learners. Indonesia Heritage Foundation.


BAGAIMANA ANAK BELAJAR?

BAGAIMANA ANAK BELAJAR ?
(Tinjauan Psikologi Kognitif)
By: Melly Latifah
(March, 2008)
Department of Family & Consumer Sciences
Faculty of Human Ecology, Bogor Agricultural University
Ketika anaknya yang masih berusia di bawah dua tahun menyebutkan kosakata baru, atau mampu membuka pakaiannya, atau menghitung jumlah telinganya, mungkin di benak orang tua ada pertanyaan, “Bagaimana cara anak mempelajari sesuatu?” Dengan kata lain, bagaimana anak belajar, dari tidak tahu hingga kemudian menjadi tahu sesuatu hal. Apakah pengetahuan yang dimilikinya itu diperoleh anak dengan cara merekam atau memotret dari sekitarnya yang kemudian ditampilkan kembali disaat anak merasa perlu menampilkannya, atau bagaimana?
Anak adalah organisme yang aktif berkembang mengaktualisasikan potensi genetiknya. Apakah potensi anak - yang merupakan pembawaan lahir tersebut - akan teraktualisasi secara optimal atau tidak, sangat tergantung kepada lingkungan – faktor-faktor di luar diri anak : yaitu gizi, kesehatan, dan stimulasi psikososial – yang mendukung perkembangan anak. Interaksi antara faktor pembawan lahir dan faktor lingkungan itulah yang akan menentukan bagaimana kualitas perkembangan anak, termasuk dalam kemampuan belajar dan perkembangan pengetahuannya, yang dalam psikologi termasuk dalam area psikologi kognitif.
Tokoh yang paling terkenal di bidang psikologi kognitif adalah Jean Piaget, yang lahir dan besar di Swiss (tahun 1896 – 1980). Piaget dianggap sebagai psikolog yang paling berpengaruh di bidang perkembangan anak. Teorinya masih diterima secara luas oleh banyak psikolog perkembangan saat ini. Minat keilmuan Piaget sangat besar terhadap karakteristik pengetahuan pada anak-anak dan bagaimana pengetahuan itu berubah ketika anak berkembang. Piaget menyebut bidang yang diminatinya itu sebagai Genetic Epistemology
Menurut Piaget, anak merupakan organisme aktif dan self-regulating yang berkembang melalui interaksi antara pembawaan lahir (innate) dengan faktor-faktor lingkungan (Hetherington & Parke, 1986; Seifert & Hoffnung, 1987; Papalia & Olds, 1988; Miller, 1993). Dalam konteks pengembangan pengetahuan atau kemampuan berfikir pada anak, istilah aktif dan self-regulating mengacu pada suatu keadaan di mana anak memiliki inisiatif untuk mengetahui sesuatu atau mempelajari sesuatu yang didorong oleh faktor pembawaan lahirnya serta dukungan dari faktor lingkungannya.
Secara konkrit dapat dijelaskan bahwa pada diri seorang anak, pengetahuan (kemampuan kognitif) akan berkembang melalui tahapan-tahapan yang berjalan seiring dengan pertumbuhannya. Dalam hal ini, pertumbuhan mengacu kepada proses pematangan fisik anak, termasuk otak dan sistem syaraf pusat yang merupakan organ penting untuk berfikir. Mengingat perkembangan kemampuan kognitif ditentukan oleh pola dan potensi bawaan serta pencapaiannya sangat ditentukan oleh pengalaman/pembelajaran (faktor lingkungan), maka bagus-tidaknya potensi kognitif yang diturunkan oleh orang tua serta bagus-tidaknya stimulasi psikososial yang diberikan di rumah, sekolah ataupun lingkungan lainnya, sangat menentukan bagaimana kemampuan kognitif anak.
Menurut Piaget, tahapan pertumbuhan yang dilalui anak (proses biologis) akan mempengaruhi konsep tertentu yang akan membentuk kematangan intelektualnya (proses psikologis). Sebagai contoh, konsep bilangan, waktu, dan ukuran akan berkembang seiring dengan pertumbuhan otaknya. Dengan demikian, orang tua atau guru tidak bisa memaksa anak untuk memahami konsep-konsep tersebut sebelum pertumbuhan otak dan sistem syaraf pusatnya – sebagai perangkat untuk berfikir - bisa mencapai kemampuan itu. < /div>
Piaget berteori bahwa selama perkembangannya, manusia mengalami perubahan-perubahan dalam struktur berfikir, yaitu semakin terorganisasi. Selain itu, suatu struktur berpikir yang dicapai selalu dibangun pada struktur dari tahap sebelumnya. Dengan kata lain, mengembangkan pengetahuan anak sama artinya dengan membangun struktur berfikir anak. Untuk membangun kemampuan berfikir yang baik, dibutuhkan proses yang bertahap dan seksama agar terbentuk fondasi kemampuan berfikir yang kokoh, baik dan benar.
Pembangunan struktur kognitif pada seorang anak, hasilnya sangat ditentukan oleh empat faktor, yaitu kematangan fisik, pengalaman dengan obyek-obyek fisik, pengalaman sosial, dan ekuilibrasi. Dari hasil interaksi faktor-faktor itulah, kemampuan anak dalam berfikir mengalami perkembangan. Kematangan fisik berkaitan dengan kematangan organ-organ tubuh untuk berfikir yang menentukan kesiapan anak untuk belajar. Sementara itu, pengalaman yang diperoleh anak dari lingkungannya – baik berupa pengalaman dengan obyek-obyek fisik maupun sosial - akan membawa kemajuan kognitif kepada anak melalui proses asimilasi dan akomodasi.
Proses asimilasi dan amomodasi membantu anak-anak beradaptasi terhadap lingkungannya karena melalui proses-proses tersebut pemahaman mereka mengenai dunia semakin dalam dan luas. Dengan demikian, jelas bahwa Pada dasarnya, manusia mengetahui sesuatu setelah yang bersangkutan melakukan proses belajar dari lingkungannya.
Prinsip-prinsip psikologi kognitif dalam dekade terakhir menurut Jonassen (1987) memiliki asumsi-asumsi yang sangat berbeda dibandingkan dengan asumsi-asumsi ketika behaviorisme mendominasi teori belajar. Menurut asumsi terbaru, belajar lebih dari sekedar berespon pasif terhadap stimuli atau informasi tertentu, tetapi individu seharusnya menghampiri stimuli tersebut, mengakses pengetahuan yang sudah ada untuk dihubungkan dengan stimuli itu, menyusun kembali struktur pengetahuan tersebut untuk mengakomodasikan informasi baru tersebut, dan akhirnya mengkodekan dasar pengetahuan yang telah direstrukturisasi tersebut ke dalam ingatan, yang kemudian bisa diakses untuk menerangkan dan menafsirkan informasi baru.


Menurut Jonassen (1987), pengertian yang dihasilkan oleh setiap individu mengenai materi yang sedang dipelajarinya bersifat individual dan tidak dapat dikontrol oleh pengarahan, tetapi dikonstuksi oleh individu sendiri dengan menggunakan pengetahuan yang telah ada sebagai fondasi dalam menginter-pretasikan/menafsirkan informasi dan membangun pengetahuan baru. Dengan demikian, menurut Wittrock (1974) dalam Jonassen (1987), belajar bukanlah sebuah resepsi pasif dari pengorganisasian dan abstraksi seseorang, melainkan sebuah proses konstruktif aktif.
Menurut Jonassen (1987), dalam bagian tulisannya yang berjudul “Integrating Learning Strategies into Courseware to Fasilitate Deeper Processing”, belajar merupakan sebuah proses konstruktif aktif ketika individu mengartikan informasi dengan cara mengakses dan menerapkan pengetahuan yang telah ada. Sebuah model instruksional yang memanifestasikan prinsif tersebut adalah hipotesa generatif.
Menurut hipotesa generatif, pemahaman (comprehension) memerlukan transfer proaktif dari pengetahuan yang telah ada ke materi baru, yang mana hal ini tergantung pada susunan transformasi dan elaborasi kognitif kompleks yang bersifat unik pada setiap individu. Dalam pemahaman ini, belajar merupakan suatu proses generatif. Artinya, belajar merupakan proses aktif yang ditimbulkan dari diri sendiri. Kegiatan-kegiatan belajar generatif menuntut individu secara sadar dan sengaja untuk menghubungkan informasi baru dengan pengetahuan yang telah mereka miliki, bukan hanya sekedar merespon material tanpa menggunakan pengetahuan kontekstual. Dalam kegiatan-kegiatan tersebut, informasi dikonsfirmasikan dan dielaborasikan ke dalam bentuk yang lebih pribadi sehingga lebih dapat diingat oleh individu.
Menurut Resnick (1989), belajar mengandung tiga aspek yang saling berhubungan. Pertama, belajar merupakan sebuah proses konstruksi pengetahuan, bukan merupakan perekaman atau absorpsi pengetahuan. Kedua, belajar adalah knowledge-dependent, artinya : orang menggunakan pengetahuan yang ada untuk mengkonstruksi pengetahuan baru. Ketiga, belajar sangat dipengaruhi situasi ketika proses belajar itu terjadi. Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa belajar bukanlah merupakan proses mekanis perekaman pengetahuan, tetapi merupakan proses konstruksi aktif yang seharusnya disadari dan dilakukan secara sengaja (generatif) oleh individu, yang dipengaruhi oleh pengetahuan yang dimilikinya serta situasi dimana proses belajar itu terjadi.

DAFTAR PUSTAKA :

  1. Hetherington, E. Mavis & Parke, Ross D. 1986. Child Psychology : A Contemporary Viewpoint. McGraw-Hill, Inc, Singapore.
  2. Jonassen, D.H. 1987. Integrating Learning Strategies into Courseware to Facilitate Deeper Processing. Dalam Weinert dan Kline (eds). Metacognition, Motivation and Understanding (pp. 151-181). Hillsdale. NJ: Lawrence Erlbaum Associates.
  3. Miller, P.H. 1993. Theories of Developmental Psychology (3rd Ed.). W.H. Freeman & Co., New York.
  4. Papalia, D.E. & S.W. Olds. 1989. Human Development. 4 th ed. McGraw-Hill, Inc. New York.
  5. Resnick, L.B. 1989. Introduction. Dalam L.B. Resninck (ed). Knowing, Learning, and Instruction: Essay in Honor of Robert Glaser (pp. 1-24). New Jersey: Lawrence Erlbaum Associates.
  6. Seifert, K.L. & Hoffnung, R.J. 1987. Child and Adolescent Development. Houghton Mifflin Co., Boston

Kurikulum Sekolah yang Baik



By: Melly Latifah
Department of Family & Consumer Sciences
Faculty of Human Ecology
Bogor Agricultural University




Mungkin setiap orang tua mengetahui bahwa untuk melaksanakan proses pendidikan, setiap sekolah memiliki kurikulum. Pada saat ini, kurikulum sekolah disebut KTSP, yang merupakan singkatan dari (Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan). Dengan berpedoman pada kurikulum sekolah itulah setiap guru melaksanakan proses pengajaran di kelas untuk mengembangkan kemampuan anak kita. Akan tetapi, mungkin tidak semua orang tua - bahkan mungkin tidak semua guru - mengetahui bagaimana kurikulum yang baik itu.

Kurikulum yang baik seharusnya dirancang untuk mencapai tujuan pengembangan anak dalam berbagai aspek. Dalam Undang-undang pasal 3 nomor 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional (Sisdiknas) disebutkan bahwa : “Pendidikan nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermanfaat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertaqwa terhadap Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab”.

Bila kita kaji isi Undang-undang Sisdiknas di atas, maka tampak jelas bahwa tujuan pendidikan adalah mengembangkan potensi peserta didik agar menjadi manusia yang memiliki ciri, yaitu : (1) Beriman dan bertaqwa terhadap Tuhan Yang Maha Esa; (2) Berakhlak mulia; (3) Sehat; (4) Berilmu; (5) Cakap; (6) Kreatif; (7) Mandiri; (8) Demokratis dan bertanggung jawab sebagai warga negara. Dengan kata lain, tujuan pendidikan di Indonesia diarahkan untuk mengembangkan seluruh aspek potensi manusia secara holistik. Kedelapan ciri yang diharapkan muncul sebagai hasil pendidikan tersebut berkaitan dengan aspek: (1) Spiritual; (2) Moral/karakter; (3) Jasmaniah/fisik; (4)Kognitif/akademik; (5)Psikomotor/keterampilan; (6) Kreativitas; (7) Kecerdasan emosi; dan (8) Kematangan sosial (Megawangi, Latifah, Dina, 2004).

Jadi jelaslah bahwa Undang-Undang Sisdiknas pasal 3 nomor 20 tahun 2003 mengamanatkan kepada para penyelenggara pendidikan dan guru untuk melaksanakan pendidikan secara holistik dengan cara mengembangkan seluruh potensi peserta didik, bukan hanya aspek kognitif atau akademik saja, tetapi membentuk manusia utuh (whole person) yang cakap dalam menghadapi dunia yang penuh tantangan dan cepat berubah, serta mempunyai kesadaran spiritual bahwa dirinya adalah bagian dari keseluruhan (the person within a whole). Dengan kata lain, membangun manusia holistik adalah cita-cita pendidikan nasional kita. Masalahnya sekarang adalah apakah kurikulum sekolah anak kita selaras dengan paradigma membangun manusia holistik?

Selaras dengan konsep pendidikan manusia holistik, maka kurikulum yang baik adalah kurikulum yang dapat mengembangkan seluruh aspek potensi anak secara holistik. Artinya, proses pendidikan dengan menggunakan kurikulum tersebut harus mampu membentuk manusia utuh (whole person) yang cakap dalam menghadapi dunia yang penuh tantangan dan cepat berubah, serta mempunyai kesadaran spiritual bahwa dirinya adalah bagian dari keseluruhan (the person within a whole). Oleh karena itu, kurikulum yang baik harus dapat mengembangkan potensi yang ada pada anak, yang meliputi aspek fisik, emosi, sosial, keativitas, spiritual, dan akademik.

Menurut Megawangi, dkk. (2004), ada beberapa hal penting yang perlu diingat dalam merancang kurikulum pembelajaran untuk mencapai tujuan pendidikan holistik, yaitu :
§ Kurikulum harus mencakup aktivitas yang dapat mengembangkan aspek fisik, emosi, sosial, bahasa, estetika, dan akademik siswa, termasuk mengaplikasikan konsep kecerdasan majemuk.
§ Kurikulum harus mencakup seluruh mata pelajaran secara terintegrasi yang relevan (kontekstual), berarti bagi siswa, serta yang dapat mencelupkan siswa dalam pembelajaran yang mengasyikan.
§ Kegiatan yang dirancang dalam kurikulum harus berdasarkan pengetahuan tentang apa yang telah diketahui siswa sebelumnya, dan siswa mampu mengerjakannya (teori constructivism).
§ Kurikulum harus dapat meningkatkan pemahaman akan konsep, prosesnya, dan kemampuan melakukannya, sehingga siswa tahu manfaat konsep yang dipelajarinya dan tertarik untuk terus mempelajarinya.
§ Kurikulum harus dirancang agar siswa secara langsung berpartisipasi aktif, misalnya dengan melakukan eksperimen ilmiah, mengumpulkan, dan menganalisis data, atau melakukan peran-peran sebagai ilmuwan lainnya dalam berbagai disiplin ilmu.
§ Kompetensi yang ingin dicapai dalam kurikulum harus realistik dan sesuai dengan kemampuan siswa menurut umur dan keunikan individu.
§ Kurikulum harus dirancang untuk meningkatkan daya imajinasi siswa.
§ Kurikulum harus dirancang untuk memberikan kesempatan kepada siswa untuk berbagi, bekerja sama, mengembangkan kecakapan sosialnya, dan menghargai kemampuan dirinya dan kawannya.
§ Kurikulum harus mencakup kegiatan yang dapat menumbuhkan sikap toleran dan menghargai segala perbedaan budaya atau agama.
§ Kurikulum harus menumbuhkan sikap atau karakter yang menghargai segala macam profesi, kebanggaan dengan apa yang telah dikerjakannya, kemampuan bekerja dalam tim, dan sikap pantang menyerah.
§ Kurikulum harus mengintegrasikan antar mata pelajaran sehingga anak terbiasa untuk melihat segala aspek dalam konteks bagian dari keseluruhan.


Referensi :
Megawangi, R; M. Latifah; W.F. Dina. 2004. Pendidikan Holistik : Aplikasi KBK untuk Menciptakan Lifelong Learners. Indonesia Heritage Foundation.

Saturday, March 1, 2008

Gizi dan Tumbuh Kembang Anak

oleh : Melly Latifah




Mengenal Gizi dan Tumbuh Kembang Anak



Pertumbuhan ialah perubahan fisiologis sebagai hasil dari proses pematangan fungsi-fungsi fisik. Pertumbuhan dapat diartikan pula sebagai proses aktualisasi potensi herediter yang berlangsung secara berkesinambungan. Hasil pertumbuhan antara lain bertambahnya tinggi dan berat badan, tulang-tulang menjadi lebih besar-panjang-berat-kuat, perubahan pada sistem persyarafan; dan perubahan-perubahan pada struktur jasmaniah lainya. Pertumbuhan dapat diamati dengan mengukur berat badan, tinggi badan, lingkar kepala, lingkar dada, lingkar pinggul, lingkar lengan, dan lain-lain.


Setiap bagian tubuh itu mempunyai perbedaan kecepatan pertumbuhan. Sebagai contoh, pertumbuhan alat-alat kelamin paling lambat pada masa kanak-kanak, namun mengalami percepatan pada masa pubertas. Sebaliknya, pertumbuhan susunan syaraf pusat berlangsung paling cepat pada masa kanak-kanak, kemudian menjadi lambat pada masa akhir kanak-kanak, dan relatif berhenti pada masa pubertas.


Banyak faktor yang mempengaruhi pertumbuhan, yaitu : (1) Faktor sebelum lahir. Contohnya : kekurangan gizi pada ibu dan janin; janin terkena virus, keracunan sewaktu bayi ada dalam kandungan, ibu terinfeksi oleh bakteri syphilis, TBC, Cholera, Typhus, gondok, sakit gula (diabetes melitus), dan lain-lain; (2) Faktor ketika lahir. Contohnya, pendarahan pada bagian kepala bayi yang disebabkan oleh tekanan dari dinding rahim ibu sewaktu ia dilahirkan, gangguan pada susunan syaraf-pusat karena kelahiran bayi dengan bantuan tang; (3) Faktor sesudah lahir. Contohnya, pengalaman traumatik (luka-luka) pada kepala, kepala bagian dalam terluka karena bayi jatuh, kepala terpukul, infeksi pada otak atau selaput otak (misalnya oleh penyakit cerebral meningitis), dan kekurangan zat gizi.


Perkembangan ialah perubahan-perubahan psiko-fisik sebagai hasil dari proses pematangan fungsi-fungsi fisik dan psikis pada anak yang ditunjang oleh faktor lingkungan dan proses belajar. Perkembangan dapat diartikan pula sebagai proses transmisi dari konstitusi psiko-fisik yang herediter, dirangsang oleh faktor-faktor lingkunngan yang menguntungkan, dalam perwujudan “proses aktif-menjadi” secara kontinyu. Secara sederhana, perkembangan bisa diartikan sebagai proses pematangan fungsi-fungsi yang non-fisik. Perkembangan dapat diamati dari berbagai kecakapan dan keterampilan anak. Contohnya, seorang bayi baru lahir yang hanya bisa tidur, namun dengan bertambahnya usia, anak menjadi mampu tengkurap, kemudian merangkangkak, lalu duduk, kemudian berdiri, selanjutnya mampu berjalan kemudian berlari. Dari yang semula tidak bisa bicara menjadi pandai bicara. Dari yang semula tidak dapat membaca dan berhitung, menjadi pandai membaca dan berhitung


Perkembangan anak dipengaruhi tiga faktor utama yang bekerja secara stimulan, yaitu : (1) Faktor herediter. Faktor ini merupakan sifat atau kondisi bawaan yang diturunkan dari orang tua; (2) Pertumbuhan dan pematangan fisik. Faktor ini dipengaruhi oleh konsumsi makanan (asupan zat gizi), perawatan kesehatan, dan perawatan anak secara umum; (3) Stimulasi lingkungan. Faktor ini tergantung pada sejauh mana orang tua dan lingkungan di sekitar anak memberikan stimulasi psikososial atau proses pembelajaran yang mendorong perkembangan anak.


Aspek-aspek perkembangan anak yang perlu mendapat perhatian adalah kemampuan : (1) Gerakan kasar; (2) Gerakan halus; (3) Memahami apa yang dikatakan orang lain; (4) Berbicara; (5) Kognitif ; (6) Menolong diri sendiri; dan (7) Bergaul.



Dampak Kekurangan Zat Gizi bagi Tumbuh Kembang Anak


Pada masa kanak-kanak, proses pertumbuhan dan perkembangan terjadi sangat cepat. Menurut Husaini (1997), apabila makanan tidak cukup mengandung zat-zat gizi yang dibutuhkan, dan keadaan ini berlangsung lama, maka akan menyebabkan perubahan metabolisme dalam otak. Hal ini akan berakibat terjadi ketidakmampuan otak berfungsi secara normal. Pada keadaan yang lebih berat dan kronis, kekurangan gizi menyebabkan pertumbuhan badan tergangggu, badan lebih kecil diikuti dengan ukuran otak yang juga kecil., jumlah sel darah otak berkurang dan terjadi ketidakmatangan dan ketidaksempurnaan organisasi biokimia dalam otak.


Pertumbuhan otak sangat terpengaruh apabila kurang gizi terjadi sejak dalam kandungan, dan berlanjut sampai usia bayi. Pada janin, keadaan kurang gizi akan menyebabkan jumlah sel otak menurun terutama pada cerebrum dan cerebellum, diikuti dengan penurunan jumlah protein, glikosida, lemak dan enzim serta fungsi neurotransmiter yang tidak normal. Keadaan Kurang Energi dan Protein (KEP) yang terjadi pada usia sangat muda mempengaruhi perkembangan fisik dan kecerdasan. Hasil-hasil penelitian di dalam dan luar negeri menunjukkan adanya hubungan yang nyata antara keadaan gizi dan kemampuan belajar.


Hasil penelitian di Jawa Barat menunjukkan bahwa kurang gizi berasosiasi dengan keterlambatan perkembangan motorik (Husaini, 1997). Dari penelitian di Meksiko dan Jamaika, diungkapkan bahwa rehabilitasi kemampuan kognitif memerlukan waktu lebih lama daripada rehabilitasi keadaan gizinya. Dengan kata lain, kemampuan kognitif anak tidak segera menjadi baik meskipun status gizi berhasil diperbaiki. Bahkan para ahli meyakini bahwa kehilangan ini tidak dapat dipulihkan seperti sedia kala. Oleh karena itu, orang tua harus mewaspadai dampak dari kekurangan gizi pada anak-anaknya. Dengan kata lain, para orang tua harus memperhatikan pola makan anak-anaknya.


Jaringan otak pada anak yang tumbuh normal sampai umur 3 tahun akan mencapai 80 % berat otak orang dewasa. Apabila sebelum mencapai umur 3 tahun terjadi kekurangan zat gizi tertentu, dapat menimbulkan kelainan-kelainan fisik maupun mental. Kelainan fisik timbul sebagai akibat pertumbuhan yang terhambat, dan kelainan mental timbul sebagai akibat perkembangan otak yang terganggu.


Perkembangan sel otak dan sel syaraf lainnya masih berlangsung dan berhenti ketika anak berumur 3 tahun. Oleh sebab itu pada periode umur tersebut anak memerlukan makanan yang cukup mengandung zat gizi makro maupun zat gizi mikro. Bila anak kekurangan zat gizi, terutama makanan sumber energi dan protein serta zat besi, maka perkembangan fisik dan kemampuan menyerap rangsangan dari luar juga terhambat. Akibatnya anak lebih lambat beraktifitas dan bereaksi dibanding anak usia sebaya yang tidak kekurangan gizi. Namun melalui stimulasi mental (rangsangan-rangsangan), kemampuan tersebut lambat laun menjadi lebih baik, walau tidak dapat sama dengan anak normal. Pertumbuhan fisik anak yang kekurangan gizi pada masa ini juga lebih rendah dibanding anak normal, namun setelah pengobatan dan pemberian makanan tambahan, pertumbuhan fisiknya dapat mendekati pertumbuhan fisik anak normal. Cacat permanen yang menyertai bila anak para periode ini kekurangan gizi adalah penurunan tingkat kecerdasan sebanyak sekitar 10-13 IQ poin.



Zat Gizi yang dibutuhkan bagi Tumbuh Kembang Anak


Untuk tumbuh dan berkembang, manusia memerlukan enam zat gizi utama, yaitu karbohidrat, protein, lemak, vitamin, mineral, dan air. Zat gizi tersebut dapat kita peroleh dari makanan yang kita konsumsi sehari-hari. Agar anak dapat tumbuh dan berkembang dengan baik, makan makanan yang dimakannya tidak boleh hanya sekedar mengenyangkan perut saja. Makanan yang dimakan anak harus : · Beragam jenisnya · Jumlah atau porsinya cukup (tidak kurang atau berlebihan) · Higienis dan aman (bersih dari kotoran dan bibit penyakit serta tidak mengandung bahan-bahan yang berbahaya bagi kesehatan) · Makan dilakukan secara teratur · Makan dilakukan dengan cara yang baik.


Keenam zat gizi utama digunakan oleh tubuh anak untuk : 1. Menghasilkan tenaga yang digunakan oleh anak untuk melakukan berbagai kegiatan, seperti belajar, berolah raga, bermain, dan aktivitas lain (disebut zat tenaga). · Zat makanan yang merupakan sumber tenaga utama adalah karbohidrat dan lemak · Makanan yang banyak mengandung karbohidrat adalah beras, jagung, singkong, ubi jalar, kentang, talas, gandum dan sagu. · Makanan yang banyak mengandung lemak adalah lemak hewan (gajih), mentega, minyak goreng, kelapa, dan keju. 2. Membangun jaringan tubuh dan mengganti jaringan tubuh yang aus/rusak. (disebut zat pembangun). · Zat makanan yang merupakan zat pembangun adalah protein. · Makanan yang banyak mengandung protein yaitu tahu, tempe oncom, kacang-kacangan, telur, daging, ikan, udang dan kerang. 3. Mengatur kegiatan-kegiatan yang terjadi di dalam tubuh (disebut zat pengatur). · Zat makanan yang merupakan zat pengatur adalah vitamin, mineral dan air. · Makanan yang banyak mengandung vitamin, mineral dan air adalah sayur-sayuran dan buah-buahan.


Kebutuhan tubuh kita akan keenam macam gizi untuk melakukan tiga fungsi tersebut tidak bisa dipenuihi hanya oleh satu macam makanan saja karena tidak ada satu pun makanan dari alam yang mempunyai kandungan gizi lengkap. Satu-satunya makanan yang mempunyai kandungan gizi lengkap adalah air susu ibu (ASI) bagi bayi usia empat bulan atau kurang. Setelah usia di atas empat bulan, ASI juga tidak cukup untuk memenuhi kebutuhan bayi sehingga setelah usia empat bulan makanan bayi perlu ditambah dengan makanan pendamping ASI, seperti bubur tepung dan sari buah.


Agar kebutuhan tubuh akan gizi dapat terpenuhi secara lengkap, anak harus dibiasakan untuk makan makanan yang beraneka ragam. Jika makanan anak beragam, maka zat gizi yang tidak terkandung atau kurang dalam satu jenis makanan akan dilengkapi oleh zat gizi yang berasal dari makanan jenis lain. Agar makanan yang dimakan anak beraneka ragam, maka kita harus selalu ingat bahwa makanan yang dimakan anak harus mengandung zat tenaga, zat pembangun dan zat pengatur. Ketiga zat ini dapat berasal dari karbohidrat, protein, lemak, vitamin, mineral, dan air.



Bagaimana Menyusun Menu bagi Anak Agar Memenuhi Kebutuhannya ?


Meskipun kita bisa menghitung kandungan gizi makanan yang akan kita makan sehingga kita yakin betul bahwa apa yang kita makan telah memenuhi kebutuhan gizi kita, tapi pada kenyataannya hal tersebut sangat sulit untuk dilaksanakan. Pedoman yang paling mudah bagi kita untuk mengukur apakah makanan kita sudah mencukupi kebutuhan gizi atau belum adalah dengan menggunakan Pedoman "Empat Sehat Lima Sempurna”. Artinya, makanan yang kita makan sehari-hari sebaiknya terdiri dari makanan pokok, lauk-pauk, sayur-sayuran, dan buah-buahan. Jika ditambah susu, itu lebih baik.


1. Makanan Pokok


Makanan pokok adalah kelompok makanan dalam menu makanan kita sehari-hari yang memberikan sumbangan karbohidrat paling banyak. Manfaat utama makanan pokok adalah sebagai zat tenaga. Zat tenaga sangat penting bagi tubuh, yaitu untuk melakukan segala jenis kegiatan dalam kehidupan sehari-hari.


Makanan pokok kebanyakan masyarakat Indonesia adalah beras yang dimakan dalam bentuk nasi. Selain beras, ada juga yang lainnya. Misalnya jagung (pada masyarakat asli Madura), sagu (pada masyarakat asli Maluku), ubi jalar (pada masyarakat asli Irian Jaya). Pada sebagian masyarakat kita, singkong dan roti juga umum disajikan sebagai makanan pokok diwaktu makan pagi.


2. Lauk-pauk


Lauk-pauk adalah kelompok makanan yang paling banyak memberikan sumbangan zat putih telur atau lebih dikenal dengan protein. Manfaat utama lauk-pauk adalah sebagai zat pembangun. Adanya lauk-pauk dalam menu kita sehari-hari menyebabkan dapat membentuk jaringan-jaringan baru. Akibatnya rambut tumbuh dengan subur, otot-otot badan lebih padat, kulit halus dan luka lebih cepat sembuh. Manfaat paling penting dari lauk-pauk adalah untuk pertumbuhan otak. Jadi, kalau kita ingin cerdas, harus banyak makan lauk-pauk. Lauk-pauk ada yang berasal dari pangan nabati, ada juga yang dari pangan hewani. Lauk-pauk dari pangan nabati contohnya makanan yang dibuat dari kacang-kacangan, seperti tempe, tahu, dan oncom. Lauk-pauk dari pangan hewani contohnya telur, daging, ikan, belut, udang dan kerang.


3. Sayur-sayuran


Sayur-sayuran adalah kelompok makanan yang banyak memberikan sumbangan vitamin, mineral dan air bagi tubuh kita. Manfaat pokok sayur-sayuran bagi tubuh kita adalah sebagai zat pengatur. Manfaat lain dari sayur-sayuran adalah menghasilkan serat. Serat berguna untuk melancarkan buang air besar.


Kita harus menyukai beragam sayur-sayuran supaya di dalam tubuh kita tersedia banyak vitamin dan mineral. Bila tidak suka makan sayur-sayuran, kegiatan-kegiatan dalam tubuh kita akan kacau karena kekurangan zat pengatur. Selain itu, sulit buang air besar.


Di dalam sayuran yang bewarna hijau, banyak terkandung zat besi yang berguna untuk meningkatkan konsentrasi belajar dan vitamin A yang berguna bagi kesehatan mata. Contoh sayuran hijau adalah bayam, katuk, kangkung dan daun singkong. Di dalam sayuran yang berwarna kuning dan merah juga banyak terkandung vitamin A. Contoh sayuran berwarna kuning adalah wortel, bit dan tomat.


4. Buah-buahan


Buah-buahan merupakan kelompok makanan yang banyak memberikan sumbangan vitamin dan air. Manfaat utama buah-buahan bagi tubuh kita adalah sebagai zat pengatur. Manfaat lainnya adalah menghasilkan banyak serat yang berguna untuk melancarkan buang air besar. Negara kita kaya akan buah-buahan. Diantaranya adalah alpukat, apel, arbei, anggur, belimbing, jambu biji, jambu air, jeruk, mangga, manggis, pepaya, pisang, rambutan, sawo dan semangka.


5. Susu


Susu merupakan makanan yang penting, terutama bagi bayi, ibu yang sedang hamil, ibu yang sedang menyusui, serta anak-anak yang sedang dalam masa pertumbuhan (anak balita, anak usia sekolah dan remaja). Susu mengandung banyak protein, lemak dan mineral Kalsium. Protein penting untuk pertumbuhan. Lemak menyumbang tenaga yang banyak dan tahan lama di dalam tubuh. Kalsium sangat penting untuk pertumbuhan tulang dan gigi. Jika di dalam tubuh kita banyak tersedia kalsium, tulang dan gigi kita akan kuat, tidak mudah rapuh atau keropos.


Meskipun kandungan gizi susu cukup baik, tetapi di negara kita harga susu mahal. Sehingga tidak semua orang mampu membelinya. Selain itu, ada juga orang yang tidak tahan minum susu sehingga mencret-mencret jika minum susu. Jika kita tidak bisa minum susu kita tidak perlu khawatir karena susu dapat diganti dengan makanan lain. Makanan yang bisa dijadikan pengganti susu adalah makanan dari kelompok kacang-kacangan, seperti kedelai, kacang tanah, kacang koro dan kacang tunggak.


Susu berasal dari susu hewan ternak seperti sapi, kerbau dan kambing. Hewan ternak yang paling banyak diambil susunya adalah sapi. Susu dapat diminum dalam bentuk minuman segar, yaitu hasil perahan yang direbus dahulu. Susu bisa juga diolah dalam bentuk lain seperti keju, mentega susu, susu bubuk, susu kental, yogurt dan es krim.


Jika memungkinkan, lauk-pauk, sayur-sayuran dan buah-buahan yang dimakan anak, jenisnya berganti-ganti setiap hari, agar makanan lebih beraneka ragam dan tidak membosankan. Jika anak menyukai beragam jenis makanan, kita akan mudah mendapatkan makanan yang murah tapi menyehatkan karena dengan banyaknya makanan yang disukai, kita memiliki banyak pilihan.


Dalam mengatur makanan anak, kita juga harus waspada terhadap makanan jajanan asing seperti fried chiken, burger, donut, pizza, dll. Makanan sejenis itu umumnya memiliki karakteristik : kaya akan karbohidrat, lemak, protein, dan garam, namun rendah vitamin, mineral dan serat sehingga bila dikonsumsi setiap hari, dapat menyebabkan kegemukan (obesitas). Makanan jajanan ini unsur gizinya jelas kurang lengkap (kurang mengandung vitamin dan mineral). Oleh karena itu, mengkonsumsi makanan asing terlalu sering, sangat merugikan karena : (1) Dapat menyebabkan kegemukan (obesitas); (2) Dalam jangka panjang dapat menimbulkan penyakit seperti tekanan darah tinggi, jantung, ginjal dan kencing manis; selain itu (3) Harga makanan jajanan asing jauh lebih mahal dibanding makanan tradisional Indonesia.



DAFTAR PUSTAKA



1. Karyadi, D. & Muhilal. 1985. Kecukupan Gizi yang Dianjurkan. PT Gramedia, Jakarta.


2. Gibson, R.S. 1990. Principles of Nutritional Assessment. Oxford University Press, New York, N.Y.


3. Strommen, E.A., Mckinney, J.P., Fitzgerald, H.E. 1983. Developmental Psychology : The School-Age Child. The Dorsey Press. Chicago, Lilinois.

Peranan Keluarga dalam Pendidikan Karakter Anak

Oleh :
Melly Latifah

Saat di layar televisi kita melihat berbagai tindak kekerasan, pelecehan seksual dan tindak kriminal lainnya yang terjadi baik dalam keluarga maupun di lingkungan lain, maka muncul pertanyaan di benak kita : ”Apa yang terjadi dengan bangsa kita ? Pertanyaan yang sama juga muncul ketika kita mengetahui berbagai tindak KKN di lingkungan pemerintahan, BUMN, atau perusahaan swasta yang merugikan keuangan negara dalam hitungan yang tidak terbayangkan. Bahkan ketika gaji kita dipotong tanpa alasan yang jelas atau kepangkatan kita tertunda hanya karena kurang komisi. Apa yang didengar, dilihat dan dialami oleh kita tersebut mengacu kepada satu hal, yaitu karakter.

Karakter dan Faktor-faktor yang Mempengaruhi Perkembangannya

Karakter didefinisikan secara berbeda-beda oleh berbagai pihak. Sebagian menyebutkan karakter sebagai penilaian subyektif terhadap kualitas moral dan mental, sementara yang lainnya menyebutkan karakter sebagai penilaian subyektif terhadap kualitas mental saja, sehingga upaya merubah atau membentuk karakter hanya berkaitan dengan stimulasi terhadap intelektual seseorang (encyclopedia.thefreedictionary.com, 2004). Coon (1983) mendefinisikan karakter sebagai suatu penilaian subyektif terhadap kepribadian seseorang yang berkaitan dengan atribut kepribadian yang dapat atau tidak dapat diterima oleh masyarakat. Sementara itu menurut Megawangi (2003), kualitas karakter meliputi sembilan pilar, yaitu (1) Cinta Tuhan dan segenap ciptaan-Nya; (2) Tanggung jawab, Disiplin dan Mandiri; (3) Jujur/amanah dan Arif; (4) Hormat dan Santun; (5) Dermawan, Suka menolong, dan Gotong-royong; (6) Percaya diri, Kreatif dan Pekerja keras; (7) Kepemimpinan dan adil; (8) Baik dan rendah hati; (9) Toleran, cinta damai dan kesatuan. Jadi, menurut Ratna Megawangi, orang yang memiliki karakter baik adalah orang yang memiliki kesembilan pilar karakter tersebut.

Karakter, seperti juga kualitas diri yang lainnya, tidak berkembang dengan sendirinya. Perkembangan karakter pada setiap individu dipengaruhi oleh faktor bawaan (nature) dan faktor lingkungan (nurture). Menurut para developmental psychologist, setiap manusia memiliki potensi bawaan yang akan termanisfestasi setelah dia dilahirkan, termasuk potensi yang terkait dengan karakter atau nilai-nilai kebajikan. Dalam hal ini, Confusius – seorang filsuf terkenal Cina - menyatakan bahwa manusia pada dasarnya memiliki potensi mencintai kebajikan, namun bila potensi ini tidak diikuti dengan pendidikan dan sosialisasi setelah manusia dilahirkan, maka manusia dapat berubah menjadi binatang, bahkan lebih buruk lagi (Megawangi, 2003). Oleh karena itu, sosialisasi dan pendidikan anak yang berkaitan dengan nilai-nilai kebajikan - baik di keluarga, sekolah, maupun lingkungan yang lebih luas - sangat penting dalam pembentukan karakter seorang anak.

Jika sosialisasi dan pendidikan (faktor nurture) sangat penting dalam pendidikan karakter, maka sejak kapan sebaiknya hal itu dilakukan ? Menurut Thomas Lichona (Megawangi, 2003), pendidikan karakter perlu dilakukan sejak usia dini. Erik Erikson – yang terkenal dengan teori Psychososial Development – juga menyatakan hal yang sama. Dalam hal ini Erikson menyebutkan bahwa anak adalah gambaran awal manusia menjadi manusia, yaitu masa di mana kebajikan berkembang secara perlahan tapi pasti (dalam Hurlock, 1981). Dengan kata lain, bila dasar-dasar kebajikan gagal ditanamkan pada anak di usia dini, maka dia akan menjadi orang dewasa yang tidak memiliki nilai-nilai kebajikan. Selanjutnya, White (dalam Hurlock, 1981)menyatakan bahwa usia dua tahun pertama dalam kehidupan adalah masa kritis bagi pembentukan pola penyesuaian personal dan sosial.

Dari paparan ini dapat disimpulkan bahwa karakter merupakan kualitas moral dan mental seseorang yang pembentukannya dipengaruhi oleh faktor bawaan (fitrah - nature) dan lingkungan (sosialisasi atau pendikan – nurture). Potensi karakter yang baik dimiliki manusia sebelum dilahirkan, tetapi potensi tersebut harus terus-menerus dibina melalui sosialisasi dan pendidikan sejak usia dini.

Pembinaan Karakter Anak yang Dilakukan oleh Keluarga

Pada dasarnya, tugas dasar perkembangan seorang anak adalah mengembangkan pemahaman yang benar tentang bagaimana dunia ini bekerja. Dengan kata lain, tugas utama seorang anak dalam perkembangannya adalah mempelajari ”aturan main” segala aspek yang ada di dunia ini. Sebagai contoh, anak harus belajar memahami bahwa setiap benda memiliki hukum tertentu (hukum-hukum fisika), seperti : benda akan jatuh ke bawah, bukan ke atas atau ke samping (hukum gravitasi bumi); benda tidak hilang melainkan pindah tempat (hukum ketetapan obyek), dll. Selain itu, anak juga harus belajar memahami aturan main dalam hubungan kemasyarakatan, sehingga ada hukum dan sanksi yang mengatur perilaku anggota masyarakat dalam kehidupan bermasyarakat.

Menurut Garbarino & Brofenbrenner (dalam Vasta, 1992), jika suatu bangsa ingin bertahan hidup, maka bangsa tersebut harus memiliki aturan-aturan yang menetapkan apa yang salah dan apa yang benar, apa yang boleh dan apa yang tidak boleh dilakukan, apa yang adil dan apa yang tidak adil, apa yang patut dan tidak patut. Oleh karena itu, perlu ada etika dalam bicara, aturan dalam berlalu lintas, dan aturan-aturan sosial lainnya. Jika tidak, hidup ini akan ”semrawut” karena setiap orang boleh berlaku sesuai keinginannya masing-masing tanpa harus mempedulikan orang lain. Akhirnya antar sesama menjadi saling menjegal, saling menyakiti, bahkan saling membunuh, sehingga hancurlah bangsa itu.

Memahami ”aturan main” dalam kehidupan dunia dan menginternalisasikan dalam dirinya sehingga mampu mengaplikasikan ”aturan main” tersebut dalam kehidupan sehari-hari dengan sebaik-baiknya merupakan tugas setiap anak dalam perkembangannya. Kebiasaan membuang sampah pada tempatnya, antri, tidak menyeberang jalan dan parkir sembarangan, tidak merugikan atau menyakiti orang lain, mandiri (tidak memerlukan supervisi) serta perilaku-perilaku lain - yang menunjukkan adanya pemahaman yang baik terhadap aturan sosial - merupakan hasil dari perkembangan kualitas moral dan mental seseorang yang disebut karakter.

Tentu saja kebiasaan baik atau buruk pada diri seseorang - yang mengindikasikan kualitas karakter ini - tidak terjadi dengan sendirinya. Telah disebutkan bahwa selain faktor nature, faktor nurture juga berpengaruh. Dengan kata lain, proses sosialisasi atau pendidikan yang dilakukan oleh keluarga, sekolah, lingkungan yang lebih luas memegang peranan penting, bahkan mungkin lebih penting, dalam pembentukan karakter seseorang.

Menurut Megawangi (2003), anak-anak akan tumbuh menjadi pribadi yang berkarakter apabila dapat tumbuh pada lingkungan yang berkarakter, sehingga fitrah setiap anak yang dilahirkan suci dapat berkembang segara optimal. Mengingat lingkungan anak bukan saja lingkungan keluarga yang sifatnya mikro, maka semua pihak - keluarga, sekolah, media massa, komunitas bisnis, dan sebagainya - turut andil dalam perkembangan karakter anak. Dengan kata lain, mengembangkan generasi penerus bangsa yang berkarakter baik adalah tanggung jawab semua pihak. Tentu saja hal ini tidak mudah, oleh karena itu diperlukan kesadaran dari semua pihak bahwa pendidikan karakter merupakan ”PR” yang sangat penting untuk dilakukan segera. Terlebih melihat kondisi karakter bangsa saat ini yang memprihatinkan serta kenyataan bahwa manusia tidak secara alamiah (spontan) tumbuh menjadi manusia yang berkarakter baik, sebab menurut Aristoteles (dalam Megawangi, 2003), hal itu merupakan hasil dari usaha seumur hidup individu dan masyarakat.

a. Keluarga sebagai Wahana Pertama dan Utama Pendidikan Karakter Anak

Para sosiolog meyakini bahwa keluarga memiliki peran penting dalam menentukan kemajuan suatu bangsa, sehingga mereka berteori bahwa keluarga adalah unit yang penting sekali dalam masyarakat, sehingga jika keluarga-keluarga yang merupakan fondasi masyarakat lemah, maka masyarakat pun akan lemah. Oleh karena itu, para sosiolog meyakini bahwa berbagai masalah masyarakat - seperti kejahatan seksual dan kekerasan yang merajalela, serta segala macam kebobrokan di masyarakat - merupakan akibat dari lemahnya institusi keluarga.

Bagi seorang anak, keluarga merupakan tempat pertama dan utama bagi pertumbuhan dan perkembangannya. Menurut resolusi Majelis Umum PBB (dalam Megawangi, 2003), fungsi utama keluarga adalah ”sebagai wahana untuk mendidik, mengasuh, dan mensosialisasikan anak, mengembangkan kemampuan seluruh anggotanya agar dapat menjalankan fungsinya di masyarakat dengan baik, serta memberikan kepuasan dan lingkungan yang sehat guna tercapainya keluarga, sejahtera”.

Menurut pakar pendidikan, William Bennett (dalam Megawangi, 2003), keluarga merupakan tempat yang paling awal dan efektif untuk menjalankan fungsi Departemen Kesehatan, Pendidikan, dan Kesejahteraan. Apabila keluarga gagal untuk mengajarkan kejujuran, semangat, keinginan untuk menjadi yang terbaik, dan kemampuan-kemampuan dasar, maka akan sulit sekali bagi institusi-institusi lain untuk memperbaiki kegagalan-kegagalannya.

Dari paparan ini dapat disimpulkan bahwa keluarga merupakan wahana pertama dan utama bagi pendidikan karakter anak. Apabila keluarga gagal melakukan pendidikan karakter pada anak-anaknya, maka akan sulit bagi institusi-institusi lain di luar keluarga (termasuk sekolah) untuk memperbaikinya. Kegagalan keluarga dalam membentuk karakter anak akan berakibat pada tumbuhnya masyarakat yang tidak berkarakter. Oleh karena itu, setiap keluarga harus memiliki kesadaran bahwa karakter bangsa sangat tergantung pada pendidikan karakter anak di rumah.

b. Aspek-aspek Penting dalam Pendidikan Karakter Anak

Untuk membentuk karakter anak diperlukan syarat-syarat mendasar bagi terbentuknya kepribadian yang baik. Menurut Megawangi (2003), ada tiga kebutuhan dasar anak yang harus dipenuhi, yaitu maternal bonding, rasa aman, dan stimulasi fisik dan mental.

Maternal bonding (kelekatan psikologis dengan ibunya) merupakan dasar penting dalam pembentukan karakter anak karena aspek ini berperan dalam pembentukan dasar kepercayaan kepada orang lain (trust) pada anak. Kelekatan ini membuat anak merasa diperhatikan dan menumbuhkan rasa aman sehingga menumbuhkan rasa percaya. Menurut Erikson, dasar kepercayaan yang ditumbuhkan melalui hubungan ibu-anak pada tahun-tahun pertama kehidupan anak akan memberi bekal bagi kesuksesan anak dalam kehidupan sosialnya ketika ia dewasa. Dengan kata lain, ikatan emosional yang erat antara ibu-anak di usia awal dapat membentuk kepribadian yang baik pada anak.

Kebutuhan akan rasa aman yaitu kebutuhan anak akan lingkungan yang stabil dan aman. Kebutuhan ini penting bagi pembentukan karakter anak karena lingkungan yang berubah-ubah akan membahayakan perkembangan emosi bayi. Pengasuh yang berganti-ganti juga akan berpengaruh negatif pada perkembangan emosi anak. Menurut Bowlby (dalam Megawangi, 2003), normal bagi seorang bayi untuk mencari kontak dengan hanya satu orang (biasanya ibu) pada tahap-tahap awal masa bayi. Kekacauan emosi anak yang terjadi karena tidak adanya rasa aman ini diduga oleh para ahli gizi berkaitan dengan masalah kesulitan makan pada anak. Tentu saja hal ini tidak kondusif bagi pertumbuhan anak yang optimal.

Kebutuhan akan stimulasi fisik dan mental juga merupakan aspek penting dalam pembentukan karakter anak. Tentu saja hal ini membutuhkan perhatian yang besar dari orang tua dan reaksi timbal balik antara ibu dan anaknya. Menurut pakar pendidikan anak, seorang ibu yang sangat perhatian (yang diukur dari seringnya ibu melihat mata anaknya, mengelus, menggendong, dan berbicara kepada anaknya) terhadap anaknya yang berusia usia di bawah enam bulan akan mempengaruhi sikap bayinya sehingga menjadi anak yang gembira, antusias mengeksplorasi lingkungannya, dan menjadikannya anak yang kreatif.

c. Pola Asuh Menentukan Keberhasilan Pendidikan Karakter Anak dalam keluarga

Keberhasilan keluarga dalam menanamkan nilai-nilai kebajikan (karakter) pada anak sangat tergantung pada jenis pola asuh yang diterapkan orang tua pada anaknya. Pola asuh dapat didefinisikan sebagai pola interaksi antara anak dengan orangtua yang meliputi pemenuhan kebutuhan fisik (seperti makan, minum dan lain-lain) dan kebutuhan psikologis (seperti rasa aman, kasih sayang dan lain-lain), serta sosialisasi norma-norma yang berlaku di masyarakat agar anak dapat hidup selaras dengan lingkungannya. Dengan kata lain, pola asuh juga meliputi pola interaksi orang tua dengan anak dalam rangka pendidikan karakter anak.

Secara umum, Baumrind mengkategorikan pola asuh menjadi tiga jenis, yaitu : (1) Pola asuh Authoritarian, (2) Pola asuh Authoritative, (3) Pola asuh permissive. Tiga jenis pola asuh Baumrind ini hampir sama dengan jenis pola asuh menurut Hurlock juga Hardy & Heyes yaitu: (1) Pola asuh otoriter, (2) Pola asuh demokratis, dan (3) Pola asuh permisif.

Pola asuh otoriter mempunyai ciri orangtua membuat semua keputusan, anak harus tunduk, patuh, dan tidak boleh bertanya. Pola asuh demokratis mempunyai ciri orangtua mendorong anak untuk membicarakan apa yang ia inginkan. Pola asuh permisif mempunyai ciri orangtua memberikan kebebasan penuh pada anak untuk berbuat. Kita dapat mengetahui pola asuh apa yang diterapkan oleh orang tua dari ciri-ciri masing-masing pola asuh tersebut, yaitu sebagai berikut :

  • Pola asuh otoriter mempunyai ciri : Kekuasaan orangtua domina; Anak tidak diakui sebagai pribadi; Kontrol terhadap tingkah laku anak sangat ketat; Orangtua menghukum anak jika anak tidak patuh.
  • Pola asuh demokratis mempunyai ciri :Ada kerjasama antara orangtua – anak; Anak diakui sebagai pribadi; Ada bimbingan dan pengarahan dari orangtua; Ada kontrol dari orangtua yang tidak kaku.
  • Pola asuh permisif mempunyai ciri : Dominasi pada anak; Sikap longgar atau kebebasan dari orangtua; Tidak ada bimbingan dan pengarahan dari orangtua; Kontrol dan perhatian orangtua sangat kurang.

Melalui pola asuh yang dilakukan oleh orang tua, anak belajar tentang banyak hal, termasuk karakter. Tentu saja pola asuh otoriter (yang cenderung menuntut anak untuk patuh terhadap segala keputusan orang tua) dan pola asuh permisif (yang cenderung memberikan kebebasan penuh pada anak untuk berbuat) sangat berbeda dampaknya dengan pola asuh demokratis (yang cenderung mendorong anak untuk terbuka, namun bertanggung jawab dan mandiri) terhadap hasil pendidikan karakter anak. Artinya, jenis pola asuh yang diterapkan oleh orang tua terhadap anaknya menentukan keberhasilan pendidikan karakter anak oleh keluarga.

Pola asuh otoriter cenderung membatasi perilaku kasih sayang, sentuhan, dan kelekatan emosi orangtua - anak sehingga antara orang tua dan anak seakan memiliki dinding pembatas yang memisahkan “si otoriter” (orang tua) dengan “si patuh” (anak). Studi yang dilakukan oleh Fagan (dalam Badingah, 1993) menunjukan bahwa ada keterkaitan antara faktor keluarga dan tingkat kenakalan keluarga, di mana keluarga yang broken home, kurangnya kebersamaan dan interaksi antar keluarga, dan orang tua yang otoriter cenderung menghasilkan remaja yang bermasalah. Pada akhirnya, hal ini akan berpengaruh terhadap kualitas karakter anak.

Pola asuh permisif yang cenderung memberi kebebesan terhadap anak untuk berbuat apa saja sangat tidak kondusif bagi pembentukan karakter anak. Bagaimana pun anak tetap memerlukan arahan dari orang tua untuk mengenal mana yang baik mana yang salah. Dengan memberi kebebasan yang berlebihan, apalagi terkesan membiarkan, akan membuat anak bingung dan berpotensi salah arah.

Pola asuh demokratis tampaknya lebih kondusif dalam pendidikan karakter anak. Hal ini dapat dilihat dari hasil penelitian yang dilakukan oleh Baumrind yang menunjukkan bahwa orangtua yang demokratis lebih mendukung perkembangan anak terutama dalam kemandirian dan tanggungjawab. Sementara, orangtua yang otoriter merugikan, karena anak tidak mandiri, kurang tanggungjawab serta agresif, sedangkan orangtua yang permisif mengakibatkan anak kurang mampu dalam menyesuaikan diri di luar rumah. Menurut Arkoff (dalam Badingah, 1993), anak yang dididik dengan cara demokratis umumnya cenderung mengungkapkan agresivitasnya dalam tindakan-tindakan yang konstruktif atau dalam bentuk kebencian yang sifatnya sementara saja. Di sisi lain, anak yang dididik secara otoriter atau ditolak memiliki kecenderungan untuk mengungkapkan agresivitasnya dalam bentuk tindakan-tindakan merugikan. Sementara itu, anak yang dididik secara permisif cenderung mengembangkan tingkah laku agresif secara terbuka atau terang-terangan.

Menurut Middlebrook (dalam Badingah, 1993), hukuman fisik yang umum diterapkan dalam pola asuh otoriter kurang efektif untuk membentuk tingkah laku anak karena : (a) menyebabkan marah dan frustasi (dan ini tidak cocok untuk belajar); (b) adanya perasaan-perasaan menyakitkan yang mendorong tingkah laku agresif; (c) akibat-akibat hukuman itu dapat meluas sasarannya, misalnya anak menahan diri untuk memukul atau merusak pada waktu ada orangtua tetapi segera melakukan setelah orangtua tidak ada; (d) tingkah laku agresif orangtua menjadi model bagi anak.

Hasil penelitian Rohner (dalam Megawangi, 2003) menunjukkan bahwa pengalaman masa kecil seseorang sangat mempengaruhi perkembangan kepribadiannya (karakter atau kecerdasan emosinya). Penelitian tersebut - yang menggunakan teori PAR (Parental Acceptance-Rejection Theory)- menunjukkan bahwa pola asuh orang tua, baik yang menerima (acceptance) atau yang menolak (rejection) anaknya, akan mempengaruhi perkembangan emosi, perilaku, sosial-kognitif, dan kesehatan fungsi psikologisnya ketika dewasa kelak.

Dalam hal ini, yang dimaksud dengan anak yang diterima adalah anak yang diberikan kasih sayang, baik secara verbal (diberikan kata-kata cinta dan kasih sayang, kata-kata yang membesarkan hati, dorongan, dan pujian), maupun secara fisik (diberi ciuman, elusan di kepala, pelukan, dan kontak mata yang mesra). Sementara, anak yang ditolak adalah anak yang mendapat perilaku agresif orang tua, baik secara verbal (kata-kata kasar, sindiran negatif, bentakan, dan kata-kata lainnya yang dapat mengecilkan hati), ataupun secara fisik (memukul, mencubit, atau menampar). Sifat penolakan orang tua dapat juga bersifat indifeerence atau neglect, yaitu sifat yang tidak mepedulikan kebutuhan anak baik fisik maupun batin, atau bersifat undifferentiated rejection, yaitu sifat penolakan yang tidak terlalu tegas terlihat, tetapi anak merasa tidak dicintai dan diterima oleh orang tua, walaupun orang tua tidak merasa demikian.

Hasil penelitian Rohner menunjukkan bahwa pola asuh orang tua yang menerima membuat anak merasa disayang, dilindungi, dianggap berharga, dan diberi dukungan oleh orang tuanya. Pola asuh ini sangat kondusif mendukung pembentukan kepribadian yang pro-sosial, percaya diri, dan mandiri namun sangat peduli dengan lingkungannya. Sementara itu, pola asuh yang menolak dapat membuat anak merasa tidak diterima, tidak disayang, dikecilkan, bahkan dibenci oleh orang tuanya. Anak-anak yang mengalami penolakan dari orang tuanya akan menjadi pribadi yang tidak mandiri, atau kelihatan mandiri tetapi tidak mempedulikan orang lain. Selain itu anak ini akan cepat tersinggung, dan berpandangan negatif terhadap orang lain dan terhadap kehidupannya, bersikap sangat agresif kepada orang lain, atau merasa minder dan tidak merasa dirinya berharga.

Dari paparan di atas jelas bahwa jenis pola asuh yang diterapkan orang tua kepada anaknya sangat menentukan keberhasilan pendidikan karakter anak. Kesalahan dalam pengasuhan anak akan berakibat pada kegagalan dalam pembentukan karakter yang baik.

Menurut Megawangi (2003) ada beberapa kesalahan orang tua dalam mendidik anak yang dapat mempengaruhi perkembangan kecerdasan emosi anak sehingga berakibat pada pembentukan karakternya, yaitu :

  1. Kurang menunjukkan ekspresi kasih sayang baik secara verbal maupun fisik.
  2. Kurang meluangkan waktu yang cukup untuk anaknya.
  3. Bersikap kasar secara verbal, misainya menyindir, mengecilkan anak, dan berkata-kata kasar.
  4. Bersikap kasar secara fisik, misalnya memukul, mencubit, dan memberikan hukuman badan lainnya.
  5. Terlalu memaksa anak untuk menguasai kemampuan kognitif secara dini.
  6. Tidak menanamkan "good character' kepada anak.

Dampak yang ditimbulkan dari salah asuh seperti di atas, menurut Megawangi akan menghasilkan anak-anak yang mempunyai kepribadian bermasalah atau mempunyai kecerdasan emosi rendah.

  1. Anak menjadi acuh tak acuh, tidak butuh orang lain, dan tidak dapat menerima persahabatan. Karena sejak kecil mengalami kemarahan, rasa tidak percaya, dan gangguan emosi negatif lainnya. Ketika dewasa ia akan menolak dukungan, simpati, cinta dan respons positif lainnya dari orang di sekitarnya. la kelihatan sangat mandiri, tetapi tidak hangat dan tidak disenangi oleh orang lain.
  2. Secara emosiol tidak responsif, dimana anak yang ditolak akan tidak mampu memberikan cinta kepada orang lain.
  3. Berperilaku agresif, yaitu selalu ingin menyakiti orang baik secara verbal maupun fisik.
  4. Menjadi minder, merasa diri tidak berharga dan berguna.
  5. Selalu berpandangan negatif pada lingkungan sekitarnya, seperti rasa tidak aman, khawatir, minder, curiga dengan orang lain, dan merasa orang lain sedang mengkritiknya.
  6. Ketidakstabilan emosional, yaitu tidak toleran atau tidak tahan terhadap stress, mudah tersinggung, mudah marah, dan sifat yang tidak dapat dipreaiksi oleh orang lain.
  7. Keseimbangan antara perkembangan emosional dan intelektual. Dampak negatif lainnya dapat berupa mogok belajar, dan bahkan dapat memicu kenakalan remaja, tawuran, dan lainnya.
  8. Orang tua yang tidak memberikan rasa aman dan terlalu menekan anak, akan membuat anak merasa tidak dekat, dan tidak menjadikan orang tuannya sebagai ”role model” Anak akan lebih percaya kepada "peer group"nya sehingga mudah terpengaruh dengan pergaulan negatif.

Penutup

Karakter merupakan kualitas moral dan mental seseorang yang pembentukannya dipengaruhi oleh faktor bawaan (fitrah - nature) dan lingkungan (sosialisasi atau pendikan – nurture). Potensi karakter yang baik dimiliki manusia sebelum dilahirkan, tetapi potensi tersebut harus terus-menerus dibina melalui sosialisasi dan pendidikan sejak usia dini.

Meskipun semua pihak bertanggung jawab atas pendidikan karakter calon generasi penerus bangsa (anak-anak), namun keluarga merupakan wahana pertama dan utama bagi pendidikan karakter anak. Untuk membentuk karakter anak keluarga harus memenuhi tiga syarat dasar bagi terbentuknya kepribadian yang baik, yaitu maternal bonding, rasa aman, dan stimulasi fisik dan mental. Selain itu, jenis pola asuh yang diterapkan orang tua kepada anaknya juga menentukan keberhasilan pendidikan karakter anak di rumah. Kesalahan dalam pengasuhan anak di keluarga akan berakibat pada kegagalan dalam pembentukan karakter yang baik.

Kegagalan keluarga dalam melakukan pendidikan karakter pada anak-anaknya, akan mempersulit institusi-institusi lain di luar keluarga (termasuk sekolah) dalam upaya memperbaikinya. Kegagalan keluarga dalam membentuk karakter anak akan berakibat pada tumbuhnya masyarakat yang tidak berkarakter. Oleh karena itu, setiap keluarga harus memiliki kesadaran bahwa karakter bangsa sangat tergantung pada pendidikan karakter anak-anak mereka dalam keluarga.

DAFTAR PUSTAKA

  1. Badingah, S. (1993). Agresivitas Remaja Kaitannya dengan Pola Asuh, Tingkah Laku Agresif Orang Tua dan Kegemaran Menonoton Film Keras. Program Studi Psikologi – Pascasarjana, UI. Depok.
  2. Coon, Dennis. (1983). Introduction to Psychology : Exploration and Aplication. West Publishing Co.
  3. http://encyclopedia.thefreedictionary.com. Diakses tanggal 26 April 2004.
  4. Hurlock, E.B. 1981. Child Development. Sixth Edition. McGraw Hill Kogakusha International Student.
  5. Megawangi, Ratna. (2003). Pendidikan Karakter untuk Membangun Masyarakat Madani. IPPK Indonesia Heritage Foundation.
  6. Vasta, Ross, at all. (1992). Child Psychology : The Modern Science. John Wiley & Sons Inc.