BAGAIMANA ANAK BELAJAR ?
(Tinjauan Psikologi Kognitif)
By: Melly Latifah (Tinjauan Psikologi Kognitif)
(March, 2008)
Department of Family & Consumer Sciences
Faculty of Human Ecology, Bogor Agricultural University
Ketika anaknya yang masih berusia di bawah dua tahun menyebutkan kosakata baru, atau mampu membuka pakaiannya, atau menghitung jumlah telinganya, mungkin di benak orang tua ada pertanyaan, “Bagaimana cara anak mempelajari sesuatu?” Dengan kata lain, bagaimana anak belajar, dari tidak tahu hingga kemudian menjadi tahu sesuatu hal. Apakah pengetahuan yang dimilikinya itu diperoleh anak dengan cara merekam atau memotret dari sekitarnya yang kemudian ditampilkan kembali disaat anak merasa perlu menampilkannya, atau bagaimana?
Anak adalah organisme yang aktif berkembang mengaktualisasikan potensi genetiknya. Apakah potensi anak - yang merupakan pembawaan lahir tersebut - akan teraktualisasi secara optimal atau tidak, sangat tergantung kepada lingkungan – faktor-faktor di luar diri anak : yaitu gizi, kesehatan, dan stimulasi psikososial – yang mendukung perkembangan anak. Interaksi antara faktor pembawan lahir dan faktor lingkungan itulah yang akan menentukan bagaimana kualitas perkembangan anak, termasuk dalam kemampuan belajar dan perkembangan pengetahuannya, yang dalam psikologi termasuk dalam area psikologi kognitif.
Tokoh yang paling terkenal di bidang psikologi kognitif adalah Jean Piaget, yang lahir dan besar di Swiss (tahun 1896 – 1980). Piaget dianggap sebagai psikolog yang paling berpengaruh di bidang perkembangan anak. Teorinya masih diterima secara luas oleh banyak psikolog perkembangan saat ini. Minat keilmuan Piaget sangat besar terhadap karakteristik pengetahuan pada anak-anak dan bagaimana pengetahuan itu berubah ketika anak berkembang. Piaget menyebut bidang yang diminatinya itu sebagai Genetic Epistemology
Menurut Piaget, anak merupakan organisme aktif dan self-regulating yang berkembang melalui interaksi antara pembawaan lahir (innate) dengan faktor-faktor lingkungan (Hetherington & Parke, 1986; Seifert & Hoffnung, 1987; Papalia & Olds, 1988; Miller, 1993). Dalam konteks pengembangan pengetahuan atau kemampuan berfikir pada anak, istilah aktif dan self-regulating mengacu pada suatu keadaan di mana anak memiliki inisiatif untuk mengetahui sesuatu atau mempelajari sesuatu yang didorong oleh faktor pembawaan lahirnya serta dukungan dari faktor lingkungannya.
Secara konkrit dapat dijelaskan bahwa pada diri seorang anak, pengetahuan (kemampuan kognitif) akan berkembang melalui tahapan-tahapan yang berjalan seiring dengan pertumbuhannya. Dalam hal ini, pertumbuhan mengacu kepada proses pematangan fisik anak, termasuk otak dan sistem syaraf pusat yang merupakan organ penting untuk berfikir. Mengingat perkembangan kemampuan kognitif ditentukan oleh pola dan potensi bawaan serta pencapaiannya sangat ditentukan oleh pengalaman/pembelajaran (faktor lingkungan), maka bagus-tidaknya potensi kognitif yang diturunkan oleh orang tua serta bagus-tidaknya stimulasi psikososial yang diberikan di rumah, sekolah ataupun lingkungan lainnya, sangat menentukan bagaimana kemampuan kognitif anak.
Menurut Piaget, tahapan pertumbuhan yang dilalui anak (proses biologis) akan mempengaruhi konsep tertentu yang akan membentuk kematangan intelektualnya (proses psikologis). Sebagai contoh, konsep bilangan, waktu, dan ukuran akan berkembang seiring dengan pertumbuhan otaknya. Dengan demikian, orang tua atau guru tidak bisa memaksa anak untuk memahami konsep-konsep tersebut sebelum pertumbuhan otak dan sistem syaraf pusatnya – sebagai perangkat untuk berfikir - bisa mencapai kemampuan itu. < /div>
Piaget berteori bahwa selama perkembangannya, manusia mengalami perubahan-perubahan dalam struktur berfikir, yaitu semakin terorganisasi. Selain itu, suatu struktur berpikir yang dicapai selalu dibangun pada struktur dari tahap sebelumnya. Dengan kata lain, mengembangkan pengetahuan anak sama artinya dengan membangun struktur berfikir anak. Untuk membangun kemampuan berfikir yang baik, dibutuhkan proses yang bertahap dan seksama agar terbentuk fondasi kemampuan berfikir yang kokoh, baik dan benar.
Pembangunan struktur kognitif pada seorang anak, hasilnya sangat ditentukan oleh empat faktor, yaitu kematangan fisik, pengalaman dengan obyek-obyek fisik, pengalaman sosial, dan ekuilibrasi. Dari hasil interaksi faktor-faktor itulah, kemampuan anak dalam berfikir mengalami perkembangan. Kematangan fisik berkaitan dengan kematangan organ-organ tubuh untuk berfikir yang menentukan kesiapan anak untuk belajar. Sementara itu, pengalaman yang diperoleh anak dari lingkungannya – baik berupa pengalaman dengan obyek-obyek fisik maupun sosial - akan membawa kemajuan kognitif kepada anak melalui proses asimilasi dan akomodasi.
Proses asimilasi dan amomodasi membantu anak-anak beradaptasi terhadap lingkungannya karena melalui proses-proses tersebut pemahaman mereka mengenai dunia semakin dalam dan luas. Dengan demikian, jelas bahwa Pada dasarnya, manusia mengetahui sesuatu setelah yang bersangkutan melakukan proses belajar dari lingkungannya.
Prinsip-prinsip psikologi kognitif dalam dekade terakhir menurut Jonassen (1987) memiliki asumsi-asumsi yang sangat berbeda dibandingkan dengan asumsi-asumsi ketika behaviorisme mendominasi teori belajar. Menurut asumsi terbaru, belajar lebih dari sekedar berespon pasif terhadap stimuli atau informasi tertentu, tetapi individu seharusnya menghampiri stimuli tersebut, mengakses pengetahuan yang sudah ada untuk dihubungkan dengan stimuli itu, menyusun kembali struktur pengetahuan tersebut untuk mengakomodasikan informasi baru tersebut, dan akhirnya mengkodekan dasar pengetahuan yang telah direstrukturisasi tersebut ke dalam ingatan, yang kemudian bisa diakses untuk menerangkan dan menafsirkan informasi baru.
Menurut Jonassen (1987), pengertian yang dihasilkan oleh setiap individu mengenai materi yang sedang dipelajarinya bersifat individual dan tidak dapat dikontrol oleh pengarahan, tetapi dikonstuksi oleh individu sendiri dengan menggunakan pengetahuan yang telah ada sebagai fondasi dalam menginter-pretasikan/menafsirkan informasi dan membangun pengetahuan baru. Dengan demikian, menurut Wittrock (1974) dalam Jonassen (1987), belajar bukanlah sebuah resepsi pasif dari pengorganisasian dan abstraksi seseorang, melainkan sebuah proses konstruktif aktif.
Menurut Jonassen (1987), dalam bagian tulisannya yang berjudul “Integrating Learning Strategies into Courseware to Fasilitate Deeper Processing”, belajar merupakan sebuah proses konstruktif aktif ketika individu mengartikan informasi dengan cara mengakses dan menerapkan pengetahuan yang telah ada. Sebuah model instruksional yang memanifestasikan prinsif tersebut adalah hipotesa generatif.
Menurut hipotesa generatif, pemahaman (comprehension) memerlukan transfer proaktif dari pengetahuan yang telah ada ke materi baru, yang mana hal ini tergantung pada susunan transformasi dan elaborasi kognitif kompleks yang bersifat unik pada setiap individu. Dalam pemahaman ini, belajar merupakan suatu proses generatif. Artinya, belajar merupakan proses aktif yang ditimbulkan dari diri sendiri. Kegiatan-kegiatan belajar generatif menuntut individu secara sadar dan sengaja untuk menghubungkan informasi baru dengan pengetahuan yang telah mereka miliki, bukan hanya sekedar merespon material tanpa menggunakan pengetahuan kontekstual. Dalam kegiatan-kegiatan tersebut, informasi dikonsfirmasikan dan dielaborasikan ke dalam bentuk yang lebih pribadi sehingga lebih dapat diingat oleh individu.
Menurut Resnick (1989), belajar mengandung tiga aspek yang saling berhubungan. Pertama, belajar merupakan sebuah proses konstruksi pengetahuan, bukan merupakan perekaman atau absorpsi pengetahuan. Kedua, belajar adalah knowledge-dependent, artinya : orang menggunakan pengetahuan yang ada untuk mengkonstruksi pengetahuan baru. Ketiga, belajar sangat dipengaruhi situasi ketika proses belajar itu terjadi. Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa belajar bukanlah merupakan proses mekanis perekaman pengetahuan, tetapi merupakan proses konstruksi aktif yang seharusnya disadari dan dilakukan secara sengaja (generatif) oleh individu, yang dipengaruhi oleh pengetahuan yang dimilikinya serta situasi dimana proses belajar itu terjadi.
DAFTAR PUSTAKA :
Piaget berteori bahwa selama perkembangannya, manusia mengalami perubahan-perubahan dalam struktur berfikir, yaitu semakin terorganisasi. Selain itu, suatu struktur berpikir yang dicapai selalu dibangun pada struktur dari tahap sebelumnya. Dengan kata lain, mengembangkan pengetahuan anak sama artinya dengan membangun struktur berfikir anak. Untuk membangun kemampuan berfikir yang baik, dibutuhkan proses yang bertahap dan seksama agar terbentuk fondasi kemampuan berfikir yang kokoh, baik dan benar.
Pembangunan struktur kognitif pada seorang anak, hasilnya sangat ditentukan oleh empat faktor, yaitu kematangan fisik, pengalaman dengan obyek-obyek fisik, pengalaman sosial, dan ekuilibrasi. Dari hasil interaksi faktor-faktor itulah, kemampuan anak dalam berfikir mengalami perkembangan. Kematangan fisik berkaitan dengan kematangan organ-organ tubuh untuk berfikir yang menentukan kesiapan anak untuk belajar. Sementara itu, pengalaman yang diperoleh anak dari lingkungannya – baik berupa pengalaman dengan obyek-obyek fisik maupun sosial - akan membawa kemajuan kognitif kepada anak melalui proses asimilasi dan akomodasi.
Proses asimilasi dan amomodasi membantu anak-anak beradaptasi terhadap lingkungannya karena melalui proses-proses tersebut pemahaman mereka mengenai dunia semakin dalam dan luas. Dengan demikian, jelas bahwa Pada dasarnya, manusia mengetahui sesuatu setelah yang bersangkutan melakukan proses belajar dari lingkungannya.
Prinsip-prinsip psikologi kognitif dalam dekade terakhir menurut Jonassen (1987) memiliki asumsi-asumsi yang sangat berbeda dibandingkan dengan asumsi-asumsi ketika behaviorisme mendominasi teori belajar. Menurut asumsi terbaru, belajar lebih dari sekedar berespon pasif terhadap stimuli atau informasi tertentu, tetapi individu seharusnya menghampiri stimuli tersebut, mengakses pengetahuan yang sudah ada untuk dihubungkan dengan stimuli itu, menyusun kembali struktur pengetahuan tersebut untuk mengakomodasikan informasi baru tersebut, dan akhirnya mengkodekan dasar pengetahuan yang telah direstrukturisasi tersebut ke dalam ingatan, yang kemudian bisa diakses untuk menerangkan dan menafsirkan informasi baru.
Menurut Jonassen (1987), pengertian yang dihasilkan oleh setiap individu mengenai materi yang sedang dipelajarinya bersifat individual dan tidak dapat dikontrol oleh pengarahan, tetapi dikonstuksi oleh individu sendiri dengan menggunakan pengetahuan yang telah ada sebagai fondasi dalam menginter-pretasikan/menafsirkan informasi dan membangun pengetahuan baru. Dengan demikian, menurut Wittrock (1974) dalam Jonassen (1987), belajar bukanlah sebuah resepsi pasif dari pengorganisasian dan abstraksi seseorang, melainkan sebuah proses konstruktif aktif.
Menurut Jonassen (1987), dalam bagian tulisannya yang berjudul “Integrating Learning Strategies into Courseware to Fasilitate Deeper Processing”, belajar merupakan sebuah proses konstruktif aktif ketika individu mengartikan informasi dengan cara mengakses dan menerapkan pengetahuan yang telah ada. Sebuah model instruksional yang memanifestasikan prinsif tersebut adalah hipotesa generatif.
Menurut hipotesa generatif, pemahaman (comprehension) memerlukan transfer proaktif dari pengetahuan yang telah ada ke materi baru, yang mana hal ini tergantung pada susunan transformasi dan elaborasi kognitif kompleks yang bersifat unik pada setiap individu. Dalam pemahaman ini, belajar merupakan suatu proses generatif. Artinya, belajar merupakan proses aktif yang ditimbulkan dari diri sendiri. Kegiatan-kegiatan belajar generatif menuntut individu secara sadar dan sengaja untuk menghubungkan informasi baru dengan pengetahuan yang telah mereka miliki, bukan hanya sekedar merespon material tanpa menggunakan pengetahuan kontekstual. Dalam kegiatan-kegiatan tersebut, informasi dikonsfirmasikan dan dielaborasikan ke dalam bentuk yang lebih pribadi sehingga lebih dapat diingat oleh individu.
Menurut Resnick (1989), belajar mengandung tiga aspek yang saling berhubungan. Pertama, belajar merupakan sebuah proses konstruksi pengetahuan, bukan merupakan perekaman atau absorpsi pengetahuan. Kedua, belajar adalah knowledge-dependent, artinya : orang menggunakan pengetahuan yang ada untuk mengkonstruksi pengetahuan baru. Ketiga, belajar sangat dipengaruhi situasi ketika proses belajar itu terjadi. Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa belajar bukanlah merupakan proses mekanis perekaman pengetahuan, tetapi merupakan proses konstruksi aktif yang seharusnya disadari dan dilakukan secara sengaja (generatif) oleh individu, yang dipengaruhi oleh pengetahuan yang dimilikinya serta situasi dimana proses belajar itu terjadi.
DAFTAR PUSTAKA :
- Hetherington, E. Mavis & Parke, Ross D. 1986. Child Psychology : A Contemporary Viewpoint. McGraw-Hill, Inc, Singapore.
- Jonassen, D.H. 1987. Integrating Learning Strategies into Courseware to Facilitate Deeper Processing. Dalam Weinert dan Kline (eds). Metacognition, Motivation and Understanding (pp. 151-181). Hillsdale. NJ: Lawrence Erlbaum Associates.
- Miller, P.H. 1993. Theories of Developmental Psychology (3rd Ed.). W.H. Freeman & Co., New York.
- Papalia, D.E. & S.W. Olds. 1989. Human Development. 4 th ed. McGraw-Hill, Inc. New York.
- Resnick, L.B. 1989. Introduction. Dalam L.B. Resninck (ed). Knowing, Learning, and Instruction: Essay in Honor of Robert Glaser (pp. 1-24). New Jersey: Lawrence Erlbaum Associates.
- Seifert, K.L. & Hoffnung, R.J. 1987. Child and Adolescent Development. Houghton Mifflin Co., Boston
No comments:
Post a Comment