oleh : Melly Latifah
Tulisan yang akan disajikan berikut ini merupakan suatu awal dari serangkaian tulisan yang akan disajikan pada edisi-edisi berikutnya tentang aspek emosi. semoga tulisan ini bermanfaat bagi Anda dan anak-anak indonesia.
Beberapa tahun terakhir ini, melalui koran, majalah dan televisi, orang tua banyak dikejutkan oleh berita-berita kriminal yang dilakukan oleh anak-anak di bawah umur, seperti penganiayaan, pembunuhan dan pemerkosaan. Bahkan, di Jakarta dan kota-kota lainnya, tawuran merupakan kegiatan rutin para pelajar di samping kegiatan kurikuler di sekolah. Melihat kenyataan itu, para orang tua hanya bisa mengurut dada, sementara dalam pikiran mereka berkecamuk berbagai pertanyaan yang merisaukan. Apa yang tengah terjadi pada anak-anak kita ? Mengapa ? Siapa yang salah ?
Menurut Daniel Goleman – penulis Emotional Inteligence terkenal - yang tengah terjadi itu adalah kebobrokan emosi. Dari penelitian terhadap lebih dari dua ribu anak-anak Amerika pada tahun 1970-an dan 1980-an ditemukan bahwa ada kecenderungan penurunan dalam keterampilan emosi dan sosial pada anak-anak tersebut. Umumnya, anak-anak tersebut menjadi lebih resah dan gampang marah, lebih murung dan tidak bersemangat, lebih depresi dan kesepian, lebih mudah terbawa napsu dan tidak patuh.
Lalu, mengapa anak-anak kita menjadi seperti itu ? Secara ringkas jawabannya adalah : anak-anak kita tidak memiliki kecerdasan emosi, atau tepatnya : kecerdasan emosi mereka rendah.
Kecerdasan Emosi, Apa Itu ?
Istilah kecerdasan emosi (sekarang sering disebut secara singkat : EQ) dilontarkan pertama kali pada tahun 1990 oleh Peter Salovey – psikolog dari Harvard University – dan John Mayer – psikolog dari University of New Hampshire. Akan tetapi, istilah tersebut dipopulerkan oleh Daniel Goleman melalui karya tulisnya yang best-seller pada tahun 1995 berjudul Emotional Inteligence.
Melalui tulisannya, Daniel Goleman berhasil menggugah kesadaran para orang tua dan masyarakat umum bahwa kecerdasan kognitif (istilah singkat : IQ) yang selama ini diagung-agungkan sebagai kualitas manusia yang paling penting dan dianggap menentukan masa depan anak, tidak ada artinya tanpa kecerdasan emosi (EQ). Bahkan Goleman dan penulis-penulis tentang EQ lainnya meyakinkan kita bahwa untuk keberhasilan anak, EQ lebih penting daripada IQ. Hal ini dibuktikan melalui berbagai penelitian.
Istilah kecerdasan emosi mengacu pada kualitas-kualitas emosional yang menentukan keberhasilan seseorang. Kecerdasan emosi seseorang dapat digambarkan oleh keterampilan emosional dan keterampilan sosial yang dimilikinya. Kemampuan mengendalikan amarah, mengatasi konflik, menghadapi kesulitan, berempati, membina hubungan baik, serta kemampuan untuk bekerja dalam kelompok merupakan contoh-contoh dari kualitas kecerdasan emosi.
Sekian dahulu dari penulis. Sampai jumpa pada tulisan saya di edisi mendatang, masih tentang perkembangan emosi.
No comments:
Post a Comment