Saturday, March 1, 2008

Apa yang Terjadi dalam Pendidikan Anak di Indonesia?

oleh : Melly Latifah

Pada tanggal 22 Juli 2007 kembali kita memperingati Hari Anak Indonesia, dan pada saat itu kita seperti dingatkan kembali tentang nasib anak-anak Indonesia, termasuk anak-anak kita. Apakah mereka sudah mendapatkan semua haknya sebagai anak? Apakah kita - sebagai orang tua, guru, warga negara, atau pemerintah - sudah melakukan stimulasi yang optimal bagi anak-anak Indonesia agar mereka dapat tumbuh dan berkembang dengan optimal? Apakah kita sudah memberi kesempatan kepada anak untuk mengembangkan segala potensi yang ada pada diri mereka?

Mungkin di antara kita ada yang bisa menjawab pertanyaan itu dengan lantang. “Tentu saja sudah! Anak-anak sudah saya sekolahkan di sekolah terbaik, sejak TK hingga saat ini.” Bahkan mungkin ada yang mengaku sudah menyekolahkan anak-anaknya di institusi pendidikan yang terbaik sejak mereka umur 2 tahun, bahkan mungkin sejak bayi. Akan tetapi, apakah benar kita sudah memberikan yang terbaik untuk mereka, sesuai dengan kebutuhan setiap anak yang memiliki kepribadian unik serta potensi yang berbeda satu sama lain.

Jangan-jangan selama ini yang kita lakukan hanyalah membentuk anak-anak sesuai dengan keinginan kita sendiri tanpa memperdulikan kebutuhan, kepribadian dan potensi mereka. Apalagi jika kita - sebagai orang tua, guru, warga negara, atau pemerintah - memiliki keyakinan bahwa kecerdasan kognitif adalah kunci utama kesuksesan hidup.

Jadi tidaklah mengherankan jika kemudian banyak orang tua yang tidak mempermasalahkan nilai pelajaran Kerajinan Tangan dan Kesenian (KTK) dan Olah Raga anaknya yang kurang bagus, asal nilai lainnya - terutama matematika dan IPA - bagus. Oleh karenanya, tidak mengherankan juga jika banyak orang tua yang berpendapat jika anak-anaknya SMA, mereka harus masuk jurusan IPA. Sebaliknya, orang tua akan kecewa jika anaknya memilih jurusan IPS atau ditentukan masuk IPS oleh sekolah.

Kita mungkin lupa atau tidak tahu bahwa setiap anak itu unik. Mereka memiliki minat, bakat dan kepribadian yang berbeda-beda satu sama lain, sehingga kebutuhannya pun berbeda-beda. Oleh karenanya, kita harus mengenali dan memaklumi apa yang dimiliki dan diminati anak. Kewajban kita hanyalah memberi kesempatan kepada anak untuk mengembangkan diri sesuai dengan minat, bakat dan kepribadian yang mereka miliki.

Saat ini banyak orang tua yang menilai bahwa pelajaran-pelajaran yang terkait dengan life skills, seperti Kerajinan Tangan dan Kesenian (KTK) dan Olah Raga serta kegiatan ekstra kurikuler, seperti OSIS, pramuka, paskibraka, pecinta alam, PMR dll. tidak penting. Bahkan, di rumah pun anak-anak sekarang tidak lagi kita ajari memasak, menjahit, merawat rumah atau kebun/pekarangan, mengasuh adik, atau sekedar menyajikan suguhan kepada tamu seperti anak-anak jaman dulu. Anak sekarang pun banyak yang tidak memiliki kesempatan untuk mengenal lingkungan alam, bahkan yang terdekat sekalipun.

Padahal di arena itulah anak-anak kita memiliki kesempatan untuk mengembangkan otak kanan atau otak emosinya, karena pelajaran-pelajaran lain di sekolah umumnya cenderung mengembangkan potensi otak kiri atau otak perfikir saja.

Oleh karena itu tidaklah mengherankan jika banyak anak yang tidak bisa membedakan antara rumput dan padi, atau kerbau dan sapi. Bahkan mereka tidak merasa penting untuk membuang sampah pada tempatnya, dan mencoret-coret dinding bangunan (graffiti) dianggap aksi “heroik” di mata teman-temannya.

Selama ini mungkin kita merasa sudah memberi bekal yang cukup agar anak-anak kita kelak sukses dalam kehidupannya. Akan tetapi, kita mungkin lupa atau tidak tahu bahwa bekal kecerdasan dalam berpikir saja tidak cukup. Untuk hidup sukses, diperlukan juga kecakapan mengelola/mengatur diri sendiri, kecakapan menangani suatu hubungan - baik dengan lingkungan sosial maupun lingkungan fisik/alam - serta keterampilan dalam bekerja (psikomotorik), yang kesemuanya itu melibatkan kecerdasan emosi atau otak kanan.

Tanpa semua itu, mustahil seseorang dapat meraih kesuksesan dalam hidupnya. Pintar berpikir saja tidak cukup, sekolah tinggi saja tidak cukup tanpa memiliki keterampilan dalam berkerja dan berinteraksi. Bahkan Daniel Goleman yang terkenal dengan bukunya yang fenomenal - Emotional Intelligence - menyatakan bahwa kesuksesan hidup seseorang ditentukan sebesar 80% oleh kecerdasan emosi atau otak kanan, sementara kecerdasan berfikir atau otak kiri hanya menyumbang sebesar 20% saja.

Sebagai warga IPB - yang dekat dengan pertanian atau lingkungan alamiah - seharusnya kita bertanya, “Apa yang sudah kta lakukan dalam rangka turut mengembangkan kualitas anak-anak bangsa?” Apakah kta tidak merasa bersalah atau paling tidak merasa prihatin jika banyak anak-anak Indonesia yang tidak tahu perbedaan antara rumput dan padi, atau kerbau dan sapi, bahkan mereka tidak tahu dari mana asalnya nasi yang mereka makan sehari-hari? Apakah kita tidak prihatin jika banyak anak-anak yang membuang sampah sembarangan tanpa merasa bersalah?

Mungkin berangkat dari keprihatinan itulah IPB dapat ikut memikirkan bagaimana caranya agar kita - sebagai perguruan tinggi yang menfokuskan kajiannya pada bidang pertanian - dapat berpartisipasi dalam mengembangkan anak-anak Indonesia, paling tidak dalam mengembangkan otak kanannya, khususnya kesadaran dan keterampilannya yang terkait dengan pertanian atau lingkungan alamiah. Dengan demikian, anak-anak Indonesia kelak dapat hidup sukses, bahkan dapat bersaing dengan bangsa-bangsa lain di era globalisasi ini.

Semoga….

No comments:

Post a Comment